Febriawan
Bachtiar, Rikza Fauzan, Eka Ribawati
Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa, Jl. Raya Ciwaru No.25 Serang Banten
Email: bachtiarfb14@gmail.com., rikza.fauzan@untirta.ac.id., eka.ribawati@untirta.ac.id.
Abstrak : PERKEMBANGAN
TRADISI NADRANAN MUARA ANGKE JAKARTA UTARA TAHUN 2010-2019. Tujuan penelitian ini memaparkan sebuah
perkembangan tradisi nadranan yang berada di Muara Angke yang menjadi tempat
tinggal daripada masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Tradisi nadranan
ini adalah sebuah ritual yang sudah menjadi identitas budaya yang dilakukan
oleh masyarakat nelayan Muara Angke sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang
memiliki laut agar supaya diberikan keamanan dan kenyamanan ketika para nelayan
mencari sumber penghasilan di laut.
Peneltian
ini menggunakan metode penelitian sejarah terdiri dari beberapa tahap seperti
pengumpulan data, kriti, interpretasi dan historigrafi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi pustaka dan wawancara.
Berdasarkan hasil penelitian. Awal kemunculannya tradisi ini berawal dari orang-orang
Indramayu yang migrasi dan kemudian bertempat tinggal di Muara Angke, mereka
membawa budaya dari tempat asalnya. Tradisi nadranan ini mengalami
perkembangan secara signifikan mulai dari sarana dan prasarananya hingga kepada
fungsinya, proses itu adalah sebuah bentuk adaptasi agar tradisi ini tetap
bertahan mengingat tradisi ini sudah sebagai pedoman kehidupan bagu para
,masyarakat nelayan.
Kata Kunci : Tradisi nadranan,
Perkembangan Fungsi, makna dan simbolik
PENDAHULUAN
Di setiap
daerah acara ritual sedekah laut memiliki kekhasasnya sendiri-sendiri, mulai
dari penyebutan atau penamaan ritual yang berbeda-beda, hingga kepada proses
ritual sedekah laut yang mempunyai tata cara yang berbeda pula. di Jawa Timur,
tepatnya lamongan, masyarakat nelayannya menyebut dekat laut dengan Tutup
Layang, sementara di Madura menyebut sedekah laut dikenal dengan Rakatan, dan
di Banyuwangi di sebut Petik Laut istilah lain menyebutnya sedekah laut.
Masyarakat pesisir Yogyakarta Parangtritis mengenal sedekah laut dengan Jaladri,
untuk istilah sedekah laut itu sendiri, masyarakat pesisir pantai Selatan
terutama di Kabupaten Gunung Kidul menggunakan istilah tersebut untuk melakukan
slametan Laut
Wilayah Muara Angke merupakan Wilayah pesisir yang terletak
di bagian utara sebelah barat Propinsi DKI Jakarta dan berbatasan langsung
dengan Laut Jawa. Kawasan Muara Angke termasuk dalam wilayah administrasi
Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan Kota Jakarta Utara.Daerah perikanan
Muara Angke memiliki luas wilayah 77.9 ha. Batas-batas Kawasan Muara Angke
adalah Sebelah barat berbatasan dengan Kali Angke Sebelah timur berbatasan
dengan Jalan Pluit Barat Sebelah selatan berbatasan dengan Kali Angke Sebelah
utara berbatasan dengan Laut Jawa Kawasan Muara Angke secara geografis terletak
pada LS sampai LS dan BT sampai BT, dengan tinggi rata-rata 0m di atas
permukaan air laut. Kawasan Delta Muara Angke diapit oleh 2 anak sungai, yaitu Kali
Angke di sebelah timur dan Kali Adem di sebelah barat.Kampung
Nelayan Muara Angke yang dikenal sebagai lokasi pelelangan dan pelabuhan ikan
yang memiliki tatanan kehidupan masyarakat lokal dengan sebagian besar penduduk
bermata pencaharian sebagai nelayan dan pengolah hasil perikanan yang mempunyai
keterkaitan dengan sumber daya yang mereka miliki.
Masyarakat Muara Angke merupakan
masyarakat perantauan yang berasal dari Indramayu, Brebes, Tegal, Banten dan
Bugis tetapi yang lebih mayoritasnya
adalah orang-orang Indramayu bagian pesisir. Dalam Struktur sosial masyarakat
Nelayan Muara Angke ada beberapa klasifikasi yaitu nelayan tangkap, nelayan
lapak dan nelayan pengelola. Nelayan tangkap, nelayan lapak dan nelayan
pengelola sangat berkaitan dan saling bekerja sama, apabila salah satunya ada
yang tidak melakukan aktivisanya maka kegiatan ekonominya tidak berputar, dalam
teori struktural fungsional sangat
yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari
organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil
atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Selain itu
juga Ibnu Khaldun berpendapat mengenai masyarakat, menurutnya manusia itu
memerlukan masyarakat, artinya bahwa manusia itu butuh kerja sama antara
sesamanya untuk dapat hidup, baik untuk memperoleh makanan atau maupun
mempertahankan diri.
Masyarakat Muara Angke memiliki
kebudayaan kebaharian yaitu sedekah laut atau bahasa lokalnya adalah nadranan.
Sedekah laut menjadi sebuah bentuk budaya bahari yang sampai saat ini masih
dilestarikan oleh masyarakat nelayan Muara Angke didalam arus masyarakat perkotaan. Tradisi sedekah laut adalah salah
satu ritual yang dilakukan oleh masyarakat pesisir, dan kebanyakan ritual
semacam ini dilakukan oleh masyarakat nelayan terutama di pulau Jawa, sedangkan
istilah sedekah laut yang disebut dengan nadranan oleh masyarakat Muara
Angke itu berasal dari Indramayu karena penduduk mayoritas di Muara Angke
adalah orang-orang pendatang dari Indramayu bagian pesisir sehingga mereka
membawa kebiasaan atau budaya bahari tersebut ke Muara Angke, sebab tradisi
nadranan bagi masyarakat pesisir Indramayu menjadi pedoman hidup yang harus
dilakukan sebagai bentuk terimakasih kepada Tuhan.
Fenomena tersebut mengalami perubahan
fungsi, dalam teorinya fungsionalisme yang dipopulerkan oleh Bronislaw
Malinowski, yang pada intinya bahwa budaya mengalami perubahan karna kebutuhan
manusianya itu sendiri untuk menghadapi tantangan zaman, yang dimaksud
kebutuhan untuk menghadapai tantangan zaman ialah kebutuhan kebudayaan,
pendidikan, dan integratif. Tradisi Nadranan juga mengalami perubahan
berdasarkan kebutuhan dan tantangan zaman agar tradisi nadranan ini menjadi
kearifan lokal yang semua anak bangsa harus menjaga dan melestarikannya, karna
di dalam buku yang berjudul Kearifan lokal karagan Sibrani bahwa Kearifan lokal
merupakan pengetahuan masyarakat yang dimanfaatkan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan menciptakan kedamaian bagi masyarakat dalam masyarakat
Pelaksanaan tradisi nadranan
dalam perkembangannya juga di pengaruhi ekonomi masyarakar Muara Angke karna
sebelum di tahun 2010 - 2019, nadranan dilaksanakan berdasarkan kemampuan
pendapatan para nelayan, apabila pendapatan nelayan tinggi maka acaranya meriah
tetapi kalau pendapatannya rendah maka acaranya biasa-biasa saja bahkan ada
yang tidak melakukan karena tidak ada biaya untuk melakukan Nadranan.
Tingkat kemiskinan di muara angke masih terbilang tinggi. Kemiskinan menurut
penyebabnya dibagi menjadi dua, yakni kemiskinan kultural dan kemiskinan
struktural. Kemiskinan kultural disebabkan oleh adanya budaya maupun
faktor-faktor adat yang menghalangi masyarakat untuk melakukan perubahan ke
taraf hidup yang lebih baik. Kemiskinan struktural disebabkan karena
ketidakberdayaan sekelompok masyarakat akibat tatanan sosial yang tidak adil
karena mereka memiliki posisi yang lemah untuk berkembang (Direktorat
Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Kedeputian Sumber
Daya Manusia dan Kebudayaan: 2010, 8). Dilihat dari penyebabnya, kemiskinan
yang terjadi di Muara Angke termasuk dalam kategori kemiskinan kultural dan
kemiskinan struktural. Kemiskinan kultural di Muara Angke disebabkan karena
adanya pranata sosial masyarakat perikanan yang tidak memihak pada masyarakat
nelayan, sementara kemiskinan struktural disebabkan karena nelayan di Muara
Angke tidak memiliki modal untuk mengembangkan usahanya, sehingga mereka tetap
miskin. Selain itu, pemerintah juga tidak gencar membantu perubahan ekonomi maupun
perubahan struktural masyarakat Muara Angke sehingga masyarakatnya masih
terbelenggu dalam kemiskinan
METODE
PENELITIAN
Metode
sejarah mempunyai metode sendiri dalam mengungkapkan peristiwa masa lalu agar
dapat mengasilkan karya sejarah yang kritis dan objektif. Metode sejarah adalah
suatu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan
masa lampau
A.
Heuristik
Kata Heuristik berasal dari kata “Heuriskein”
dalam Bahasa yunani yang berarti mencari atau menemukan, dalam Bahasa latinHeuristik dinamakan sebagai asr inveniendi (seni mencari) atau sama
artinya dengan isatilah arst of invention
dalam Bahasa inggris
B.
Kritik
(Verifikasi)
Setelah melalui tahap pengumpulan
data selanjutnya masuk pada tahapan kritik sumber yaitu untuk mengetahui
validitas dari suatu sumber sejarah. Tujuan dari kegiatan-kegiatan itu adalah
bahwa setelah sejarawan berhasil mengumpulkan sumber-sumber dalam
penelitiannya, ia tidak akan menerima begitu saja apa yang tercantum dan
tertulis pada sumber-sumber itu. Langkah selanjutnya ia harus menyaringnya
secara kritis, terutama terhadap sumber-sumber pertama, agar terjaring fakta
yang menjadi pilihannya. Langkah-langkah inilah yang disebut kritik sumber,
baik terhadap materi (ekstern) maupun terhadap substansi (isi) sumber
C.
Interprestasi
Tahap ketiga Interpretasi berarti
menafsirkan atau memberi makana kepada fakta-fakta (Facts) atau bukti-bukti sejarah (Evidences) secara metodologi interpretasi merupakan bagian tak
terpisahkan dari keseluruhan proses penelitian sejarah (Historical Research) dan penulisan sejarah (Historical Writing). Interpretasi adalah upaya penafsiran atas
fakta-fakta sejarah dalam kerangka rekonstruksi realitas masa lampau.
Fakta-fakta sejarah yang jejak-jejaknya masih Nampak dalam berbagai peninggalan
dan dokumen hanyalah merupakan sebagian dari penomena realitas masa lampau, dan
yang harus disadari bahwa penomena itu bukan realitas masa lampau itu sendiri
A. Historiografi
Penulisan sejarah (historiografi)
menjadi sarana mengkomuikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap. Diuji
(verifikasi) dan interpretasikan
PEMBAHASAN
A. GAMBARAN
UMUM
Kondisi
Geografi
Muara Angke merupakan Wilayah pesisir yang terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi DKI Jakarta dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Kawasan Muara Angke termasuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan Kota Jakarta Utara. Daerah perikanan Muara Angke memiliki luas wilayah 77.9 ha. Batas-batas Kawasan Muara Angke adalah Sebelah barat berbatasan dengan Kali Angke Sebelah timur berbatasan dengan Jalan Pluit Barat Sebelah selatan berbatasan dengan Kali Angke Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa Kawasan Muara Angke secara geografis terletak pada LS sampai LS dan BT sampai BT dengan tinggi rata-rata 0m di atas permukaan air laut. Kawasan Delta Muara Angke diapit oleh 2 anak sungai, yaitu Kali Angke di sebelah timur dan Kali Adem di sebelah barat.Kampung Nelayan Muara Angke yang dikenal sebagai lokasi pelelangan dan pelabuhan ikan.
Kondisi
Demografi
Tahun |
Laki |
Perempuan |
Jumlah |
2013 |
24.200 |
24.655 |
48.855 |
2014 |
24.565 |
24.951 |
49.516 |
2015 |
24.443 |
24.822 |
49.265 |
2016 |
25.610 |
26.343 |
51.953 |
2017 |
25.761 |
26.553 |
52.314 |
2018 |
27.096 |
27.893 |
54.989 |
2019 |
27.786 |
28.698 |
56.484 |
Tabel.1
Kependudukan Kelurahan Pluit
(Sumber : Suku Dinas Kependudukan
dan pecatatan Sipil Jakarta Utara)
Muara Angke mayoritas agamanya
adalah Islam dan Muara Angke berada diwilayah kelurahan Pluit berdasarkan data
kependudukan dari Suku Dinas Kependudukan dan pecatatan Sipil Jakarta Utara
mengalami pningkatan atau penambahan penduduk hingga hasil dari 2019 sampai
56.484 jiwa itu disebabkan karna banyaknya pendatang yang ingin mencari kerja
dan menikah dengan masyarakat setempat hingga bertempat tinggal. Kelurahan
pluit menjadi tujuan bagi para pendatang untuk mencari kerja dikarekan
wilayahnya terdapat pabrik-pabrik, perusahaan, pasar modern atau mall yang
menjadi pusat bagi para nelayan dari luar ialah pelabuhan perikanan Muara
Angke.
Asal-usul Nama Muara Angke
Muara Angke adalah wilayah hilir dan kuala dari Kali Angke. Sedangkan kali atau sungai ini diperkirakan dinamai menurut nama seorang panglima perang Kerajaan Banten, yakni Tubagus Angke (Tubagus atau Ratu Bagus adalah gelar kebangsawanan kerajaan Banten). Sekitar awal abad ke-16, Kerajaan Banten mengirim pasukannya untuk membantu Kerajaan Demak yang sedang menggempur benteng Portugis di Sunda Kelapa (Jakarta sekarang). Sungai di mana pasukan Tubagus Angke bermarkas kemudian dikenal sebagai Kali Angke dan daerah yang terletak di ujung sungai ini disebut Muara Angke. Pendapat yang lain dikemukakan oleh Alwi Shahab, salah seorang penulis dan budayawan Betawi. Menurutnya, kata "angke" berasal dari bahasa Hokkian, yakni "ang" yang berarti merah dan "ke" yang berarti sungai atau kali. Hal ini terkait dengan kejadian tahun 1740, saat Belanda membantai 10.000 orang Tionghoa di Glodok, yang membuat warna air Kali Angke yang semula jernih menjadi merah bercampur darah. Namun, menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, kata "angke" berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta, "anke", yang berarti kali yang dalam.
B.
Kondisi
Sosial Budaya Masyarkat Muara Angke
Masyarakat Muara Angke secara
mayoritas suku adalah orang-orng Indramayu bagia pesisir dan beragama Islam
sehingga secara dialeg atau gaya bahasa mempunyai logat Indramayu walaupun
berbicara dengan bahasa Indonesia. Muara Angke sebagai wilayah yang terletak
di pesisir laut memiliki kebudayaan atau kebiasaan orang-orang pesisir.
Kebudayaan ini berasal dari Masyarakat Muara Angke. Menurut Koentjraningrat
ada tiga wujud kebudayaan yaitu (1) Ide dan gagasan, (2) Aktivitas, dan (3)
Hasil karya manusia.
Klasifikasi
Masyarakat Nelayan
Masyarakat nelayan merupakan
kelompok masyarakat yang pekerjaannya melaut untuk menangkap ikan
Nelayan tangkap adalah nelayan yang
aktivitasnya khusus menangkap hasil laut, bahkan nelayan juga terdapat
beberapa jenis dalam hal mata pencahariannya seperti nelayan rajung, nelayan
kerang ijo, nelayan ikan, nelayan cumi. Alat transportasi yang digunakan nelayan yang menggunakan kapal kecil
(tradisional) dan kapal besar yang kapal kecil jarak waktu pencarian hasil
lautnya ada yang satu hari sampai seminggu sedangkan kapal besar jarak
waktunya ada yang dari satu bulan sampai tiga bulan sekali.
Nelayan lapak adalah nelayan yang
aktivitasnya menjualkan hasil ikan nelayan tangkap terhadap pembeli, aktivitas
jual-beli dilakukan di TPI ( Tempat Pelelangan Ikan) Muara Angke. Ikan yang
dijual di lapak adalah hasil beli terhadap nelayan tangkap, biasanya nelayan
lapak juga melakukan sebagai pengepul sebagai bentuk ikatan jual beli antara
nelayan tangkap dan nelayan lapak.
Nelayan pengelola adalah nelayan
yang aktivitasnya melakukan pengelolaan hasil laut, pemgelolaan hasil laut
biasanya ikan, cumi dan udang. Ada dua acara melakukan pengelolaan asin ada
yang kering dan juga ada yang basah. Hasil laut yang di asin basah biasanya
ikan-ikan kecil, cumi dan udang sedangkan hasil laut yang di asin kering
biasanya ikan-ikan yang berukuran besar.
Fenomena ekonomi yang terjadi bahwa
pendapatan masyarakat nelayan Muara Angke mempengaruhi Kehidupannya. Hal itu
terjadi karna hasil laut tidak dapat diprediksi pendapatannya terkadang naik
dan terkadang turun, bahkan pengeluaran untuk kebutuhan rumah tanggal lebih
besar dari pendapatan hasil laut, selain itu juga ada ketidak seimbangan
antara pemilik perahu dan tengkulak, Kusnadi dalam bukunya filosofi
pemberdayaan pesisir memberikan gambaran umum mengenai hal tersebut,
menurutnya adanya relasi sosial ekonomi yang eksploitatif dengan pemilik
perahu dan pedagang (perantara) dalam kehidupan masyarakat nelayan
C. Perkembangan Tradisi Nadranan
Sejarah Perkembangan Tradisi Nadranan
Tradisi sedekah laut sebelumnya
sering disebut sebagai nyadran laut yaitu membuang atau melarung sesaji ke
tengah laut.Tradisi nyadran laut dilakukan rutin setiap tahun pada bulan Sura
atau bulan pertama perhitungan Jawa
Tradisi Nadranan merupakan tradisi
sedekah laut, Sedekah dalam pengertian Jawa sebetulnya hampir sama dengan
pengertian sedekah melalui bahasa Arab, istilah yang dipakai dalam ungkapan
Jawa yakni sedekah, sebagaimana yang telah dikemukakan dari istilah Arab
(Shadāqah). Pengertian yang dipahami oleh orang Jawa masih mengacu pada
bentuk-bentuk pemberian.Hanya saja dalam konteks sedekah pada beberapa upacara
tradisi Jawa, motivasi atau tujuan serta cakupan dari sasaran pemberiannya
menjadi berubah atau mengalami transformasi.Motivasi atau tujuan bukan lagi
sebagai bentuk bantuan, tetapi lebih cenderung merupakan persembahan.Tujuan
pemberian sedekah tidak lagi tertuju kepada orang-orang yang dalam keadaan
menderita, kesusahan secara ekonomis, tetapi kepada sesuatu dzat yang
dipercaya sebagai penjaga dusun, penjaga sawah, penjaga laut yang tidak kasat
mata. Sedekah laut merupakan ungkapan rasa syukur atas rizki hasil laut yang
melimpah serta memohon keselamatan bagi nelayan dan pedagang yang beraktivitas
di pesisir dari bencana laut
Walaupun nilai budaya berfungsi
sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu
nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat
luas dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun Justru
karena sifatnya umum, luas dan tidak konkret itu , maka nilai-nilai budaya
dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa individu
yang menjadi warga dan kebudayaan bersangkutan
Tradisi nadranan ini atau lebih
umumnya ialah sedekah laut merupakan peninggalan nenek moyang orang Jawa
sebagai bentuk terimakasih kepada tuhan.Praktik tersebut adalah salah satu
ketaatan orang Jawa kepada tuhan yang telah memberikan rejeki kepada umat
manusia, karna orang Jawa mempunyai paham teosofi yaitu sebuah paham cinta
terhadap Tuhan.Suwardi Endraswara didalam bukunya yang berjudul agama Jawa
mengenai teosofi.Teosofi adalah paham yang dianut oleh agama Jawa.Teos berarti
Tuhan dan sofi berarti cinta kebijaksanaan (kesempurnaan). Teosofi Jawa lebih
mengedepankan pencarian kesempurnaan hidup
Awal
kemunculan tradisi nadranan ketika terjadi migrasi orang-orang Indramayu
bagian pesisir mencari penghasilan di Muara Angke dengan cara menjadi nelayan,
sampai pada akhirnya menetap dan bertempat tinggal di Muara Angke, di tahun
1980an tradisi nadranan ini mulai dilaksanakan oleh para nelayan kapal-kapal
kecil tetapi di lakukan secara masing-masing, dalam bentuk sesajennya
semampunya sesuai pendapatan hasil dari laut. apabila penghasilan lautnya lagi
menyurut makan sesajennya seadanya dan apabila penghasilan lautnya sedang naik
makan sesajennya sangat lengkap, kegiatan ini dilakukan setahun sekali di
bulan September.
Tradisi nadranan terus mengalami perkembangan di tahun 1990an yaitu para nelayan kapal kecil memiliki kesadaran untun melakukan tradisi nadranan secara bersama-sama sehingga ritualnya dilakukan sangat memenuhhi syarat nadranan yaitu ada wayang, pembuatan kapal sesajen yang berisi sesajen lengkap. Di tahun 2000an dan lebih mengalami kemajuan secara kegiatan yaitu di tahun 2010 sampai 2019 yaitu dilaksanakan selama tujuh hari dan banyak yang ikut andil lapisan masyarakat seperti nelayan kapal kecil, nelayan kapal besar,LSM, ormas, dan perusahaan
Pembentukan Identitas Tradisi
Nadranan
Mobilitas
yang dilakukan oleh masyarakat Indramayu ke Muara Angke menyebabkan terjadinya
akulturasi terhadap kebudayaan di luar orang-orang Indramyu seperti orang
Jawa, orang Makassar, dan orang Bugis, sehingga tradisi nadranan bukan hanya
milik orang-orang Indramayu tetapi dimiliki oleh masyarakat Muara Angke
sehingga menjadi identitas kebudayaan. Terjadinya pembentukan identitas budaya
yang dilakukan oleh masyarakat Indramayu dinamakan sebagai sebuah reproduksi kebudayaan. Menurut Prof .Dr. Irwan Abdullah reproduksi kebudayaan merupakan proses
penegasan identitas budaya yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini
menegaskan keberadaan kebudayaan asalnya
Dari reproduksi kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat
Indramayu yang membawa kebudayaan asalnya yaitu berupa tradisi nadranan
menghasilkan penduduk Muara Angke mayoritas orang-orang Indramayu dan juga
membentuk hubungan-hubungan sosial terhadap diluar orang-orang Indramayu
seperti Makassar, Bugis, Jawa. Menghasilkan tatanan kehidupan yang baru karna
dari orang-orang diluar Indramayu ikut andil dalam mengikuti tradisi nadranan
tersebut, dan yang terpenting adalah memberikan makna kebudayaan sehingga
menjadi identitas individual terhadap asal-usul dan kulturalnya.
D. Perubahan Nilai dan makna Tradisi Nadranan
Nilai dan Makna Simbolik
Nilai dan makna simbolik dari sebuah
tradisi nadranan terdapat pada sesaji-sesaji seperti pementasan wayang untuk
meruwat dan alat-alat, minuman dan makanan. Nilai dan makna tersebut akan
menjadi pedoman-pedoman kehudpan bagi masyarakat penghayat ritual.
Sesaji yang digunakan di tradisi
Nnadranan yaitu utamanya ialah kepala kerbau dan wayang kalau yang lainnya
hanya pendukung saja. Sesaji merupakan bentuk slametan, agar dirinya terbebas
dari mara bahaya.
Tradisi Nadranan adalah sebuah
ritual religi karna mempercayai kekuatan gaib dilautan, seperti masyarakat
Parang Tritis ada yang beraggapan bahwa pelaksanaan sedekah laut agar nelayan
tidak di ganggu oleh Nyai Roro Kidul.Masyarakat nelayan Muara Angke
mempercayai bahwa Tradisi Nadranan agar tidak di ganggu oleh penghuni laut.
N. Soderblomm mejelaskan mengenai
asal-usul religi, menurutnya bahwa keyakinan yang paling awal yang menyebabkan
terjadinya religi dalam masyarakat manuia adalah keyakinanakan adanya kekuatan
sakti (mana) dalam hal-hal yang luar biasa dan yang gaib
Adapun sesaji yang digunakan dalam
tradisi nadranan yaitu :
1. Wayang
2.
Kepala Kerbau
3.
Tumpengan
4.
Makanan,
Minuman dan Kembang Tujuh Rupa
5.
Kelapa Ijo
6.
Bendera Merah
Putih
Fungsi Tradisi Nadranan
di Era Modern
Hasil
dari sebuah peradaban adalah munculnya kebudayaan, sehingga Semua unsur
kebudayaan yang ada dalam masyarakat mempunyai fungsi. Fungsi yang dimaksud
adalah fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan pranata-pranata
sosial
1)
Hiburan
dan Pariwisata
Dalam perjalanannya tradisi nadranan
ini mengalami perubahan fungsi yaitu sebagai media hiburan dan pariwisata bagi
masyarakat, sebab tidak dapat dipungkiri di era modern ini masyarakat tidak
terlalu tertarik dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya spiritual, masyarakat
modern lebih tertarik terhadap teknologi sehingga para penggiat tradisi
nadranan mengupayakan agar supaya tradisi nadranan ini tetap terjaga dan tetap
eksis yaitu dengan cara beradaptasi dengan jaman dari dasar pemikiran
tersebutlah para penggiat tradisi nadranan menambahkan acara atau pesta rakyat
sebelum acara yang sakralnya di mulai yaitu dengan adanya lomba futsal, lomba
volley, band, dangdut, dan menanam pohon itu semua dilakukan bertujuan untuk
menarik masyarakat pada acara yang intinya meskipun dengan adanya acara hiburan-hiburan
tersebut tetap tidak menghilangkan sebuah keskralan pada tradisi nadranan dari
upaya tersebutlah tradisi nadranan masih tetap terjaga.
2)
Pendidikan
Warisan budaya leluhur selalu
memberikan pendidikan yang sangat berarti untuk generasi berikutnya, fungsi
dari tradisi nadranan memberikan pendidikan bagi masyarakat yang mengikutinya
baik secara lahiriah dan batiniah karna terdapat nilai dan makna yang
terkandung dari tradisi nadranan.Pendidikan untuk selalu bergotong royong dan
bekerja sama ini terlihat ketika para nelayan membuat kapal untuk sesajinya,
terdapat lomba-lomba yang intinya adalah untuk kebersamaan, pendidikan
toleransi terlihat ada sebagaian masyarakat Muara Angke yang tidak menyukai
tradisi nadranan tetapi yang menyelenggarakan tidak memaksa untuk mengikutinya
saling berdampingan, pendidikan kebersihan terlihat dengan adanya penanaman
pohon dan juga tradisi nadranan mengajarkan untuk menjaga laut karna apabila
laut kotor dan banyak sampah otomomatis mengganggu ekosistem laut.
3)
Ekonomis
Tradisi Nadranan ini memiliki fungsi
secara ekonomis yaitu memberikan pemasukan secara material dari masyarakat
setempat ataupun masyarakat yang pendatang dari luar Muara Angke, dengan
adanya bazar-bazar para penjual berbondong-bondong datang ke acara tersebut meskipun
sama panitia dikenakan pajak tetapi para pedagang tidak keberatan karna tidak
memberikan rugi bahkan mendapatkan banyak keuntungan, para pedagang diberikan
stand oleh panitia.
E. Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Melestarikan Tradisi Nadranan
Peran Pemerintah
Dalam rangka untuk menjaga dan
melestarikan warisan budaya leluhur pemerintah harus berperan aktif karna
tradisi nadranan ini sudah menjadi kebudayaan nasional. Peran pemerintah dalam
upaya pelestarian agar tradisi nadranan di Muara Angke ini dapat tetap
bertahan, pelestarian tradisi nadranan di Muara Angke juga dilakukan oleh
pemerintah atau dinas terkait seperti dinas pendidikan dan kebudayaan,
Kementerian kelautan dan perikanan serta Unit Pengelola Pelabuhan Perikanan
Muara Angke sebab tradisi nadranan di Muara Angke ini tidak akan bisa lestari
tanpa ikut campurnya bantuan dan partisipasi dari dinas-dinas terkait, dan
memberikan perhatian juga sebagai penentu kebijakan dalam upaya
pelestariannya.
Peran
Masyarakat
Selain
pemerintah yang ikut andil menjaga dan melestarikan tradisi nadranan di Muara
Angke, masyarakat pun mempunyai perana ndil untuk menjaga sekaligus
melestarikan tradisi nadranan yang mempunyai banyak manfaat dan nilai bagi
masyarakat Muara Angke. Dari segala macam golongan dan lapisan masyarakat
harus bahu-membahu, bekerjasama, dan bergotong royong untuk senantiasa menjaga
warisan leluhur.
SIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
Tradisi nadranan merupakan sebuah
kebudayaan masyarakat Nelayan Muara Angke yang gunanya adalah untuk ucapan
syukur kepada Tuhan Yang memiliki laut, karna masyarakat nelayan Muara Angke
sumber kehidupannya berasal dari laut. Tradisi nadranan adalah sebuah
kebudayaan yang dibawa oleh orang-orang Indramayu yang melakukan migrasi dan
tinggal di Muara Angke. Tradisi nadranan ini mengalami perkembangan secara
signifikan dari tahun 2010 hingga 2019 mulai dari bentuk sarana dan
prasarananya hinga fungsinya
Masyarakat Muara Angke secara kebudayaan
memiliki budaya bahari yang harus tetap di pertahankan seperti menangkap ikan
dengan alat-alat yang masih tradisional maupun modern, cara mengenal musim
panen untuk ikan, cara pengelolahan ikan, cara pembuatan kapal dan yang paling
terpenting adalah sebuah tradisi nadranan. Terdapat kasifikasi nelayan di
Muara Angke yaitu nelayan tangkap, nelayan lapak dan nelayan pengelola.
Perkembangan dalam tradisi nadranan terjadi karena tuntutan zaman
dengan kata lain bahwa tradisi nadranan harus dapat beradaptasi agar tradisi
tersebut tidak punah sementara tradisi nadranan bagi kalangan penganut kejawen
yang berprofesi sebagai nelayan dan tinggal di pesisir sangat lah penting
sebab sudah menjadi pedoman hidupnya. Perkembangan itu mulai dari
bentuk-bentuk penyajiannya, acara kegiatannya, yang dahulunya di Muara Angke
acara nadranan dilakukan secara individu-kelompok-dapat menggabugkan semua
kalangan masyarakat, bahkan acaranya yang dahulu hanya ritualnya saja tetapi berubah
acaranya menjadi seminggu dengan acara-acara yang sangat mengikuti zamannya
tetapi tidak menghilangka sisi ritualnya. Perubahan fungsi pun terjadi yang
dahulu sebagai fungsi ritual tetapi berubah memiliki beberapa fungsi yaitu
fungsi hiburan, fungsi ekonomis dan fungsi pendidikan tetapi tidak
menghilangkan fungsi ritualnya.
Tradisi nadranan sebagai
sebuah kebudayaan dan sebagai sebuah kearifa loka masyarakat Muara Angke harus
tetap dijaga dan dilestarikan agar tetap ada seterusnya, itu semua tidak luput
harus yang memainkan perannya adalah permerintah dan masyarakat.
Saran
Berdasarkan
hasil dari penilitian dan kesimpulan yang disajikan maka sepertinya harus
mendapatkan saran-saran yang bermanfaat dari pihak-pihak yang memiliki
kapasitas keilmuan, karena penelitian ini memiliki ketidaksempurnaan
DAFTAR PUSTAKA
Baali, F. (2007). Teori-Teori Sosiologi Ibnu Khaldun.
Bangka Belitung: Shiddiq Press.
Bernard, R. (2007). Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Prestasi Pustaka.
Dahuri, R. d. (2001). Plengelolaan Sumber Daya Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.
Daliman, A. (2012). Metode Penelitian Sejarah.
Yogyakarta: Ombak.
Endaswara, S. (2018). Mistik Kejawen ( Sinkritisme,
Simbolisme, dan sufisme dalam budaya Spritual Jawa). Yogyakarta: Narasi.
Endraswara, S. (2015). Agama Jawa : Ajaran, Amalan dan
Asal-Usul Kejawen. Yogyakarta: Narasi-Lembu Jawa.
Engels, F. (2007). On Marx Capital.
Gottschalk, L. (2006). Mengerti Sejarah. Depok: UI
Press.
Kholdun, I. (2001). Mukaddimah. Jakarta: Oustaka
Al-Kautsar.
Kholdun, I. (2001). Muqaddimah (3 ed.). (M. N.
Ridwan, Ed., M. Irham, M. Supar, & A. Zuhri, Trans.) Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Koentjaraningrat. (1992). Beberapa pokok Antropologi
Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Koentjaraningrat. (1993). Ritus Peralihan Di Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. (2014). Sejarah Teori Antropologi I.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Koentjaraningrat. (2015). Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu Sejarah.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kusnadi. (2006). Filosofi Pemberdayaan Masyarakat
Pesisir. Bandung: Humaniora.
Kusnadi. (2007). Keberdayaan dan Dinamika Ekonomi
Pesisir. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Madjid, D., & Wahyudhi, J. (2014). Ilmu Sejarah
Sebuah Pengantar. Jakarta: Prenadamedia Group.
Maiwan, M. (2013). Kosmologi Sejarah Dalam Filsafat
SejaraH: aliran, teori, Dan Perkembangan. Literasi, 3, 168.
Marfai, M. A. (2002). Pengantar Lingkungan dan Kearifan
Lokal. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Moeis, S. (2008). Struktur Sosial. Bahan Ajar, 6.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2017). Teori
Sosiologi : dari sosiologi klasik sampai perkembangan mutakhir teori sosial
postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2017). Teori
Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori
Sosial Postmodern. (I. R. Muzir, Ed.) Bantul: Kreasi Wacana.
Setiawan, Eko;. (2016). Eksistensi Budaya Bahari Tradisi
Petik Laut Di Muncar Banyuwangi. Universum, 230.
Sjamsudin, H. (2016). Metodelogi Sejarah. Jakarta:
Ombak.
Sjamsudin, H. (2016). Metodologi Sejarah.
Yogyakarta: Ombak.
Soekanto, S. (2012). Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Suroyo, A. D. (2007). Sejarah Maritim Indonesia I
(Menulusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad ke-17). Semarang:
Jeda.
Suryanegara, A. M. (2015). Api Sejarah Jidil kesatu.
Bandung: Surya Dinasti.
Sutiyono. (1998). Tumpengan dan Gunung : Makna Simboliknya
Dalam Kebudayaan Mayrakat Jawa. Cakrawala Pendidikan, 1, 62.
Toynbee, A. J. (2015). Sejarah jejak peradaban manusia
dari 500 SM-abad XX (A Study Of History). (Rizal, Ed., & I. M. Zaki,
Trans.) Bandung: Nusa Media.
Turner, B. S. (2012). Teori Sosial dari klasik samapi
postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yatim, B. (2017). Sejarah Peradaban Islam (Dirasah
Islamiyah II). Jakarta: Rajawali Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar