Dianyadia
Febriawan Bachtiar
Pada perjalanan manusia, tak ada yang dapat luput dari
rasa cinta dan mencintai atau dicintai. Cinta membuat orang memiliki daya dan dapat
membuat manusia menjadi terpuruk sejadi-jadinya. Lalu, bagaimana kalau
mencintai ternyata tidak dicintai atau sebaliknya yang ingin dicintai ternyata
tidak ada yang mencintai ?.
Usiaku sudah menginjak masa remaja. Katanya, remaja
itu harus memiliki cinta untuk lawan jenisnya. Katanya, pada rasa mencintai
lawan jenisnya, harus pula memiliki daya tarik, terutama daya tarik dari fisik.
Maka, aku pun harus merubah penampilan agar menjadi indah di pandang. Daya
tarik yang berikutnya bisa juga dari kecerdasan, dan jika berbicara tentang kecerdasan,
nilai belajarku di atas nilai rata-rata bahkan sering kali mendapatkan juara
kelas. Aku pun sering mendapatkan piala dalam rangka mengharumkan nama sekolah.
Kemudian dalam soal materi ? aku tidak pernah kikir, aku selalu membiasakan
diri dalam berbagi rejeki. Maka, aku lebih mengandalkan kecerdasan dan
penampilanku dibandingkan soal-soal materil.
Aku belum pernah merasakan pacaran, padahal itu sudah
menjadi hal yang lumrah bagi sebagian anak muda. Jika tidak mempunyai pacar,
maka itu akan menjadi sesuatu hal yang mengerikan, bisa di-bully dan
ditertawakan. Oleh karena itu, aku harus memiliki pacar dan mulai berpacaran !.
Aku mengenal Diani, seorang perempuan teman sekelasku
di sekolah. Suasana hatiku selalu merasa senang ketika aku melihatnya dan
bahkan Diani mampu membuatku tersenyum sendiri. Aku harus mendapatkanya !,
begitu kata dalam hatiku. Dan dengan apa yang aku miliki, yaitu kecerdasanku, aku
mencari momentum yang tepat untuk itu.
Lalu Moment itu pun datang juga. Saat itu, diruang kelas
sedang ada pelajaran sejarah yang begitu membosankan. Suara bel berbunyi, Pak
Sutar masuk.
“Assalamualaikum”
Pak Sutar menyapa didepan ruangan.
“Walaikumsalam”
Seluruh siswa menjawab dengan riuh.
“Hari ini silahkan kalian membuka buku sejarah kemerdekaan
Indonesia”
Pak Sutar memberi perintah dengan tegas.
Seluruh penghuni kelas yang sedang tidak semangat pun
tahu bahwa mereka sedang menuju kebosanan, terlihat dari raut muka dan gestur
tubuh mereka. Aku berpikir, aku harus menciptakan kelas menjadi seru dan menarik.
Tujuanku bukan saja agar dilihat oleh pak Sutar, tetapi justru untuk mencari
perhatian Diana.
Dengan semangat aku mengangkatkan tangan,
“Maaf pak Sutar, biarkan saya yang menjelaskan sejarah
kemerdekaan Indonesia karna semalam saya
mempelajarinya pak”
Satu kelas serentak memandang dengan mata kearahku,
tapi juga ada yang takjub. Termasuk Diani, dia seperti terpesona pada keberanianku.
Pak Sutar mengijinkanku. Aku maju kedepan dan mengambil spidol di atas meja pak
Sutar, menjelaskan materi pelajaran tapi tidak seperti cara Pak Sutar yang
seperti ceramah ilmiah. Aku mulai dengan metode yang mampu menjadikan suasana
lebih mengalir tapi tetap serius dengan paparan yang aku sampaikan. Tak terasa,
Bel berbunyi dua kali. Penanda jam istirahat. Pelajaran sejarah pun selesai, aku
mendapatkan tepuk tangan dari penghuni kelas karena kemampuanku. Mereka semua
memandangiku ketika aku kembali ketempat duduk. Pada saat itulah mataku beradu
pandang dengan mata Diani. Aku melihatnya tersenyum. Aku merasa bahwa Diani menyukai apa yang aku lakukan didepan kelas itu. Aku berhasil mendapatkan
perhatian dari Diani.
Di kantin sekolah, Diani menghampiriku
dan menyentuh pundakku.
“Wan lu tadi keren sekali, gua suka. Akhirnya gua bener-bener
paham soal-soal yang dipaparin tentang sejarah. Eh, boleh dong kalo gua nanya-nanya
soal sejarah lagi ke lu ?”
“Iya boleh kok”
Aku tersipu malu dan tersenyum. Aku merasa senang. Aku
semakin yakin bahwa Diani pasti akan menjadi pacarku. Khayal juga kenyataan dalam
kepalaku saling tumpang tindih melewati batas waktu yang ada saat itu.
Sejak itu, aku dan Diani menjadi semakin dekat, yang
pada akhirnya itu menjadi momentum pacaran bagiku. Semua begitu terasa berbeda.
Dengan Diani, aku merasa berdaya, dan hari-hari terasa semakin dipenuhi warna. Warna
merah muda !
Hingga suatu waktu, Diani mengatakan bahwa jangan
terlalu fokus pada satu hal, nikmatilah masa remaja untuk mencari yang terbaik.
Dan ternyata itu hanya alasan bagi Diani. Karena kemudian aku mengetahui bahwa Diani
sudah mempunyai pacar lagi. Sungguh aku tak dapat menerima kenyataan itu. Aku dan
Diani pernah mengatakan untuk selalu bersama dalam kesetiaan. Ternyata semua
hanya omong kosong !.
Adakah yang salah ketika aku memilih untuk mencintai
wanita dalam hidupku ? dan perpisahan itu membuatku menyesal mencintai !. Aku pun
tidak harus terus menerus dalam keadaan hati yang patah. Aku harus bangkit. Sebab katanya, jika hati lelaki
yang tersakiti oleh perempuan, maka obat yang paling tepat adalah dengan mendekati
perempuan kembali.
Maka aku mulai memutuskan untuk memilih perempuan yang
tidak memiliki otak, karena perempuan yang memiliki otak akan berfikir mencari
sesuatu yang dapat dihitung demi mencapai pilihannya. Aku harus memilih
perempuan yang tak memiliki mata, karena mata perempuan senantiasa mampu
melihat keindahan dengan segala perbandingannya. Aku harus memilih perempuan
yang tak memiliki mulut, karena perempuan dengan mulutnya selalu berguna dalam merayu
dan merajuk. Aku harus memilih perempuan yang tak memiliki telinga, karena pada
telinga perempuan selalu terngiang kata-kata puji dan sanjungan. Aku harus
memilih perempuan yang tak memiliki kaki, karena pada kaki perempuan ada langkah
yang selalu tertuju pada kenyamanan. Aku harus memilih perempuan yang tak
memiliki tangan, karena tangan perempuan dapat meraba dan merangsang harapan
yang khayali. Dan aku harus memilih perempuan yang tak memiliki hati, karena hati
perempuan memiliki dua kecenderungan, seperti pantulan cermin rias !
“Wan, sedang
apa kamu ?’
Suara dari balik pintu kamar. Suara itu membuatku
gugup. Aku tak menjawab.
Dari
sela-sela bawah daun pintu, terselip kertas.
Aku membacanya.
“Pada jerit bait diantara kata. kita telah terjebak
oleh imajinasi rasa cinta dan boneka. Apakah ada yang mampu mengetahui bahwa
ada yang menunggu dibalik pintu yang terketuk ?”.
Aku gemetar. Ada seorang perempuan yang ternyata masih
menyimpan rasa cinta juga sayang padaku. Ini yang sebenarnya aku tunggu. Aku
bukan lelaki yang mudah mengatakan cinta.
Aku
gemetar terdiam. Tak ada lagi bunyi ketukan pada daun pintu kamarku. Aku diam
dalam suasana yang sunyi seolah menegaskan semua benda dalam kamarku memang
diam tak bergerak dan tak ada gerakan. Seperti patung yang mematung. Seperti
boneka disudut kamarku itu. Aku diam tak lagi gemetar. Dan pada kenyataan
kesadaranku, aku terpaku sendiri. Selama ini aku berbicara pada benda-benda yang
ada. Aku pandangi semua itu, kemudian beranjak keluar kamar meninggalkan semua
ingatan akan khayalanku sendiri. Meninggalkan boneka juga secarik kertas berisi
kata-kata.
Aku datangi Diani perempuan dalam khayalanku.
Jakarta, 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar