Rabu, 23 Agustus 2023

Dianyadia

 



Dianyadia

Febriawan Bachtiar

 

Pada perjalanan manusia, tak ada yang dapat luput dari rasa cinta dan mencintai atau dicintai. Cinta membuat orang memiliki daya dan dapat membuat manusia menjadi terpuruk sejadi-jadinya. Lalu, bagaimana kalau mencintai ternyata tidak dicintai atau sebaliknya yang ingin dicintai ternyata tidak ada yang mencintai ?.

Usiaku sudah menginjak masa remaja. Katanya, remaja itu harus memiliki cinta untuk lawan jenisnya. Katanya, pada rasa mencintai lawan jenisnya, harus pula memiliki daya tarik, terutama daya tarik dari fisik. Maka, aku pun harus merubah penampilan agar menjadi indah di pandang. Daya tarik yang berikutnya bisa juga dari kecerdasan, dan jika berbicara tentang kecerdasan, nilai belajarku di atas nilai rata-rata bahkan sering kali mendapatkan juara kelas. Aku pun sering mendapatkan piala dalam rangka mengharumkan nama sekolah. Kemudian dalam soal materi ? aku tidak pernah kikir, aku selalu membiasakan diri dalam berbagi rejeki. Maka, aku lebih mengandalkan kecerdasan dan penampilanku dibandingkan soal-soal materil.

Aku belum pernah merasakan pacaran, padahal itu sudah menjadi hal yang lumrah bagi sebagian anak muda. Jika tidak mempunyai pacar, maka itu akan menjadi sesuatu hal yang mengerikan, bisa di-bully dan ditertawakan. Oleh karena itu, aku harus memiliki pacar dan mulai berpacaran !.

Aku mengenal Diani, seorang perempuan teman sekelasku di sekolah. Suasana hatiku selalu merasa senang ketika aku melihatnya dan bahkan Diani mampu membuatku tersenyum sendiri. Aku harus mendapatkanya !, begitu kata dalam hatiku. Dan dengan apa yang aku miliki, yaitu kecerdasanku, aku mencari momentum yang tepat untuk itu.

Lalu Moment itu pun datang juga. Saat itu, diruang kelas sedang ada pelajaran sejarah yang begitu membosankan. Suara bel berbunyi, Pak Sutar masuk.

“Assalamualaikum” 

Pak Sutar menyapa didepan ruangan.

“Walaikumsalam”

Seluruh siswa menjawab dengan riuh.

“Hari ini silahkan kalian membuka buku sejarah kemerdekaan Indonesia”

Pak Sutar memberi perintah dengan tegas.

Seluruh penghuni kelas yang sedang tidak semangat pun tahu bahwa mereka sedang menuju kebosanan, terlihat dari raut muka dan gestur tubuh mereka. Aku berpikir, aku harus menciptakan kelas menjadi seru dan menarik. Tujuanku bukan saja agar dilihat oleh pak Sutar, tetapi justru untuk mencari perhatian Diana.

Dengan semangat aku mengangkatkan tangan,

“Maaf pak Sutar, biarkan saya yang menjelaskan sejarah kemerdekaan Indonesia  karna semalam saya mempelajarinya pak”

Satu kelas serentak memandang dengan mata kearahku, tapi juga ada yang takjub. Termasuk Diani, dia seperti terpesona pada keberanianku. Pak Sutar mengijinkanku. Aku maju kedepan dan mengambil spidol di atas meja pak Sutar, menjelaskan materi pelajaran tapi tidak seperti cara Pak Sutar yang seperti ceramah ilmiah. Aku mulai dengan metode yang mampu menjadikan suasana lebih mengalir tapi tetap serius dengan paparan yang aku sampaikan. Tak terasa, Bel berbunyi dua kali. Penanda jam istirahat. Pelajaran sejarah pun selesai, aku mendapatkan tepuk tangan dari penghuni kelas karena kemampuanku. Mereka semua memandangiku ketika aku kembali ketempat duduk. Pada saat itulah mataku beradu pandang dengan mata Diani. Aku melihatnya tersenyum. Aku merasa bahwa Diani menyukai apa yang aku lakukan didepan kelas itu. Aku berhasil mendapatkan perhatian dari Diani.

            Di kantin sekolah, Diani menghampiriku dan menyentuh pundakku.

“Wan lu tadi keren sekali, gua suka. Akhirnya gua bener-bener paham soal-soal yang dipaparin tentang sejarah. Eh, boleh dong kalo gua nanya-nanya soal sejarah lagi ke lu ?”

“Iya boleh kok”

Aku tersipu malu dan tersenyum. Aku merasa senang. Aku semakin yakin bahwa Diani pasti akan menjadi pacarku. Khayal juga kenyataan dalam kepalaku saling tumpang tindih melewati batas waktu yang ada saat itu.

Sejak itu, aku dan Diani menjadi semakin dekat, yang pada akhirnya itu menjadi momentum pacaran bagiku. Semua begitu terasa berbeda. Dengan Diani,  aku merasa berdaya, dan hari-hari terasa semakin dipenuhi warna. Warna merah muda !

Hingga suatu waktu, Diani mengatakan bahwa jangan terlalu fokus pada satu hal, nikmatilah masa remaja untuk mencari yang terbaik. Dan ternyata itu hanya alasan bagi Diani. Karena kemudian aku mengetahui bahwa Diani sudah mempunyai pacar lagi. Sungguh aku tak dapat menerima kenyataan itu. Aku dan Diani pernah mengatakan untuk selalu bersama dalam kesetiaan. Ternyata semua hanya omong kosong !.

Adakah yang salah ketika aku memilih untuk mencintai wanita dalam hidupku ? dan perpisahan itu membuatku menyesal mencintai !. Aku pun tidak harus terus menerus dalam keadaan hati yang patah. Aku  harus bangkit. Sebab katanya, jika hati lelaki yang tersakiti oleh perempuan, maka obat yang paling tepat adalah dengan mendekati perempuan kembali.

Maka aku mulai memutuskan untuk memilih perempuan yang tidak memiliki otak, karena perempuan yang memiliki otak akan berfikir mencari sesuatu yang dapat dihitung demi mencapai pilihannya. Aku harus memilih perempuan yang tak memiliki mata, karena mata perempuan senantiasa mampu melihat keindahan dengan segala perbandingannya. Aku harus memilih perempuan yang tak memiliki mulut, karena perempuan dengan mulutnya selalu berguna dalam merayu dan merajuk. Aku harus memilih perempuan yang tak memiliki telinga, karena pada telinga perempuan selalu terngiang kata-kata puji dan sanjungan. Aku harus memilih perempuan yang tak memiliki kaki, karena pada kaki perempuan ada langkah yang selalu tertuju pada kenyamanan. Aku harus memilih perempuan yang tak memiliki tangan, karena tangan perempuan dapat meraba dan merangsang harapan yang khayali. Dan aku harus memilih perempuan yang tak memiliki hati, karena hati perempuan memiliki dua kecenderungan, seperti pantulan cermin rias !

 “Wan, sedang apa kamu ?’

Suara dari balik pintu kamar. Suara itu membuatku gugup. Aku tak menjawab.

Dari sela-sela bawah daun pintu, terselip kertas.  Aku membacanya.

“Pada jerit bait diantara kata. kita telah terjebak oleh imajinasi rasa cinta dan boneka. Apakah ada yang mampu mengetahui bahwa ada yang menunggu dibalik pintu yang terketuk ?”.

Aku gemetar. Ada seorang perempuan yang ternyata masih menyimpan rasa cinta juga sayang padaku. Ini yang sebenarnya aku tunggu. Aku bukan lelaki yang mudah mengatakan cinta.

Aku gemetar terdiam. Tak ada lagi bunyi ketukan pada daun pintu kamarku. Aku diam dalam suasana yang sunyi seolah menegaskan semua benda dalam kamarku memang diam tak bergerak dan tak ada gerakan. Seperti patung yang mematung. Seperti boneka disudut kamarku itu. Aku diam tak lagi gemetar. Dan pada kenyataan kesadaranku, aku terpaku sendiri. Selama ini aku berbicara pada benda-benda yang ada. Aku pandangi semua itu, kemudian beranjak keluar kamar meninggalkan semua ingatan akan khayalanku sendiri. Meninggalkan boneka juga secarik kertas berisi kata-kata.

Aku datangi Diani perempuan dalam khayalanku.


                                                                                                                   Jakarta, 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar