Rabu, 23 Agustus 2023

PEREMPUAN, MASAKAN, DAN PERLAWANAN

 

PEREMPUAN, MASAKAN, DAN PERLAWANAN

Oleh : Vivi Maulia Rahma

Sajian makanan yang saat ini sering kita makan dan kita coba untuk mengolahnya di kehidupan sehari-hari tentunya memiliki sejarah panjang. Olahan makanan tersebut tak bisa terlepas dari peran perempuan dalam proses pengolahannya.

Peran perempuan dalam mengolah makanan bisa kita amati dalam unit kelompok sosial terkecil yaitu keluarga. Ibu memiliki banyak peran dalam menentukan bahan apa yang bisa diolah menjadi makanan dan bisa dinikmati oleh anggota keluarga. Bahkan mayoritas masyarakat lebih menyukai masakan ibunya sendiri daripada masakan di resto-resto terkenal sekalipun.

Dalam sejarah kehidupan masyarakat Eropa di Hindia-Belanda tertuliskan bahwa, perempuan memiliki peran utama dalam membuat sajian makanan. Laki-laki Eropa yang bertugas di perkebunan dengan sengaja menikahi perempuan pribumi tak hanya untuk memenuhi hasrat seksualnya. Namun juga untuk memenuhi nafsu makannya.

Para perempuan pribumi ini disebut dengan istilah ‘nyai’ mereka tanpa sengaja ikut andil dalam proses alkulturasi makanan pribumi dan makanan Eropa. Bangsa Eropa pada saat itu bisa mengenal dan menyantap nasi sebagai hidangan makanan mereka berkat kelihaian tangan-tangan perempuan dalam mengolah makanan.

Dalam buku Rijstafel (2016) Fadly Rahman mengatakan bahwa sajian makanan yang terdiri dari nasi serta lauk pauknya merupakan bentuk alkulturasi antara budaya Eropa dan Pribumi. Melalui tangan lihai perempuan bangsa Eropa yang terbiasa menyantap makanan yang cenderung hambar, akhirnya mereka terbiasa dengan budaya makan masyarakat pribumi yang menyantap nasi serta beragam lauk pauknya.

Kelihaian perempuan dalam mengolah makanan dipengaruhi juga oleh kekayaan rempah-rampah yang dimiliki bangsa ini. Kekayaan rempah-rempah ini juga akhirnya membawa dampak lain yaitu, kedatangan bangsa Eropa. Tercatat empat negara Eropa yang hadir untuk mengekspansi rempah-rempah yaitu Spanyol, Inggirs, Portugis, Belanda.

Masing-masing negara tersebut berusaha untuk menguasai rempah-rempah karena mereka tahu bahwa banyak manfaat yang diambil. Salah satunya adalah membuat cita rasa kuliner di negaranya kaya akan rasa. Meskipun mereka mengekspansi rempah-rempah tetap kelihaian seseorang diperlukan untuk membuat rasa makanan menjadi lezat. Kelihaian tersebut yang dimiliki oleh perempuan.

Eka Kurniawan mencoba menggambarkan kelihaian dan kekuatan perempuan dalam memasak dalam bukunya yang berjudul Cinta Tak Ada Mati (2012).  Eka menceritakan sosok Maharani yang digambarkan sebagai sosok perempuan yang hanya mengurusi urusan rumah tangga dan dapur. Ia hanya tau membikin anak, menyiapkan sarapan pagi, siang dan malam. Namun ia terpesona dengan keahlian memasak dari seorang juru masak perempuan yang bernama Diah Ayu.

Diah Ayu menjadi seorang juru masak yang handal, namun di balik kehandalannya, ia ternyata dijual oleh ayahnya kepada laki-laki berkebangsaan Eropa. Ia dibeli karena keahlian mengelola bumbu, memasak, dan menghidangkan makanan lezat. Tak hanya Diah Ayu, ternyata semakin banyak juga perempuan pribumi yang mengalami hal yang sama. Dengan kepentingan bahwa mereka mampu melayani tak hanya seksualitas namun juga urusan makan.

Bagi keluarga-keluarga Belanda di tanah kolonial, seorang juru masak yang pandai tak hanya merupakan kekayaan keluarga, tapi bahkan harga diri. Meskipun para perempuan tersebut hanya sebagai ‘gundik’ justru mereka mampu mengoptimalkan kekuatannya. Kekuatan tersebut ada pada penguasaanya pada mengaplikasikan bumbu masak menjadi hidangan hal ini dijadikan sebagai alat pemberontakan kepada para bangsa Eropa.

Seperti halnya Diah Ayu ia bisa menciptakan adonan-adonan aneh yang bisa membuat seorang laki-laki kehilangan birahinya untuk selama-lamanya. Lebih cerdasnya lagi ia kemudian mencipatakan makanan lain yang mampu membunuh secara perlahan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Diah membuat seseorang yang menyatap hidangan olahannya akan jatuh sakit dan mati dalam waktu satu sampai dua minggu. Sehingga tak ada kecurigaan yang muncul sehingga kematian tersebut terlihat sangat natural.

Bentuk perempuan menunjukkan kekuatannya dari memasak juga tergambarkan dalam film Kartini yang diperankan oleh Dian Sastro. Dalam film tersebut perempuan dihadapkan dengan kehidupan yang sangat terbatas. Kehidupan Kartini yang penuh dengan tradisi Jawa yaitu pingitan yang membuat hidupnya sebagai perempuan teralienasi. Ia dihadapkan oleh aktivitas perempuan yang hanya berkutat pada urusan rumah tangga, salah satunya memasak.

Ibu kandung Kartini mengatakan “jadi perempuan itu kalau masakannya enak, bisa bikin suami betah dirumah”.  Nilai-nilai tersebut yang akhirnya memperkuat bahwa perempuan memiliki andil yang besar dalam rumah tangga. Masakan yang ia hidangkan menjadi sebuah simbol keharmonisan dalam keluarga.

Dalam film Kartini bahkan menunjukkan hal yang sama dengan cerita Diah Ayu sang juru masak. Kartini dengan kecerdasannya menyampaikan pesan kepada teman Belandanya melalui kertas yang dibungkus daun pisang yang dicampurkan dengan sayur lodeh buatannya.

Melalui sayur lodeh masakannya, akhirnya Kartini dibebaskan dari pingitannya dan ia diberikan kesempatan untuk bersekolah ke Belanda. Masakan seolah bisa menjadi senjata untuk menuju kebebasan. Kita bisa melihat bahwa, Sebuah kekuatan dan kecerdikan seorang perempuan digambarkan sangat apik melalui hal sederhana namun berdampak besar.

Kekuatan perempuan lainnya juga tercerminkan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya(2005). Sosok Nyai Ontosoroh memiliki kekuatan besar sebagai seorang perempuan yang berstatus ‘gundik’. Ia mampu mengurus rumah tangga, melayani seorang laki-laki Eropa, mengurus dapurnya bahkan hingga para karyawan yang bekerja padanya dan pada suaminya.

Perempuan seolah tergambarkan memiliki kekuatan perlawanan besar, ketika Nyai Ontosoroh menuntut keadilan hukum, yang pada saat itu tak sama sekali memihak padanya yang hanya seorang gundik dan perempuan pribumi. Namun dengan segala kekuatannya, ia mampu berjuang untuk mendapatkan keadilannya.

Realitas hari ini memang berbeda dengan masa penjajahan Eropa. Hari ini kita disuguhkan bahwa, meskipun saat ini sudah banyak laki-laki yang memasuki dunia masak secara profesional. Keberadaan perempuan dalam mengolah makanan masih menjadi bagian penting. Acara ajang lomba memasak yang ditayangkan di televisi misalnya, selama beberapa season acara tersebut menghadirkan sosok perempuan.

Kehadiran perempuan dalam acara masak tersebut, justru menjadi sebuah bumbu yang menarik. Menariknya adalah dunia masak prefesional atau kita katakan seorang chef  didominasi oleh laki-laki. Namun adanya perempuan sebagai juri dan beberapa peserta lomba masak juga perempuan menunjukkan bahwa perempuan memiliki kekuatan.

Kekuatan ini menjadi sebuah bentuk perlawanan bahwa, dengan begitu banyak nilai-nilai patriarki yang menghantui mereka. Namun mereka melakukan perlawanan dengan memasak. Mereka berusaha menunjukkan daya saingnya, kekuatannya, untuk bisa bersaing untuk mendapatkan kesempatan  memasak dalam lingkup yang lebih besar.

 Dari hal ini kita bisa melihat bahwa meskipun perempuan sampai saat ini masih dihantui oleh nilai-nilai patriarki, salah satunya dengan stigma bahwa perempuan harus pandai memasak, nampaknya ini justru menjadi salah satu kekuatan besar yang perempuan miliki.

Kita bisa belajar dari Diah Ayu yang menjadikan makanan sebagai senjatanya dalam melawan para bangsa Eropa. Kepandaian mengolah makanan bukan hanya perihal cara meracik makanan agar terasa lezat oleh indra perasa kita. Tapi kepandaian memasak bisa dijadikan sebagai identitas perempuan serta perlawanan perempuan pada hal-hal yang mendiskriminasinya.

Hal ini menyadarkan bahwa tuntutan perempuan harus pandai masak bisa dimanfaatkan sebagai media perlawanan bagi perempuan terhadap hal-hal yang membatasi geraknya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar