Oleh : Vivi Maulia Rahma
Peran perempuan dalam mengolah makanan bisa kita amati
dalam unit kelompok sosial terkecil yaitu keluarga. Ibu memiliki banyak peran
dalam menentukan bahan apa yang bisa diolah menjadi makanan dan bisa dinikmati
oleh anggota keluarga. Bahkan mayoritas masyarakat lebih menyukai masakan
ibunya sendiri daripada masakan di resto-resto terkenal sekalipun.
Dalam sejarah kehidupan masyarakat Eropa di
Hindia-Belanda tertuliskan bahwa, perempuan memiliki peran utama dalam membuat
sajian makanan. Laki-laki Eropa yang bertugas di perkebunan dengan sengaja
menikahi perempuan pribumi tak hanya untuk memenuhi hasrat seksualnya. Namun
juga untuk memenuhi nafsu makannya.
Para perempuan pribumi ini disebut dengan istilah
‘nyai’ mereka tanpa sengaja ikut andil dalam proses alkulturasi makanan pribumi
dan makanan Eropa. Bangsa Eropa pada saat itu bisa mengenal dan menyantap nasi
sebagai hidangan makanan mereka berkat kelihaian tangan-tangan perempuan dalam
mengolah makanan.
Dalam buku Rijstafel (2016) Fadly Rahman mengatakan
bahwa sajian makanan yang terdiri dari nasi serta lauk pauknya merupakan bentuk
alkulturasi antara budaya Eropa dan Pribumi. Melalui tangan lihai perempuan
bangsa Eropa yang terbiasa menyantap makanan yang cenderung hambar, akhirnya
mereka terbiasa dengan budaya makan masyarakat pribumi yang menyantap nasi
serta beragam lauk pauknya.
Kelihaian perempuan dalam mengolah makanan dipengaruhi
juga oleh kekayaan rempah-rampah yang dimiliki bangsa ini. Kekayaan
rempah-rempah ini juga akhirnya membawa dampak lain yaitu, kedatangan bangsa
Eropa. Tercatat empat negara Eropa yang hadir untuk mengekspansi rempah-rempah
yaitu Spanyol, Inggirs, Portugis, Belanda.
Masing-masing negara tersebut berusaha untuk menguasai
rempah-rempah karena mereka tahu bahwa banyak manfaat yang diambil. Salah
satunya adalah membuat cita rasa kuliner di negaranya kaya akan rasa. Meskipun
mereka mengekspansi rempah-rempah tetap kelihaian seseorang diperlukan untuk
membuat rasa makanan menjadi lezat. Kelihaian tersebut yang dimiliki oleh
perempuan.
Eka Kurniawan mencoba menggambarkan kelihaian dan
kekuatan perempuan dalam memasak dalam bukunya yang berjudul Cinta Tak Ada Mati
(2012). Eka menceritakan sosok Maharani
yang digambarkan sebagai sosok perempuan yang hanya mengurusi urusan rumah
tangga dan dapur. Ia hanya tau membikin anak, menyiapkan sarapan pagi, siang
dan malam. Namun ia terpesona dengan keahlian memasak dari seorang juru masak
perempuan yang bernama Diah Ayu.
Diah Ayu menjadi seorang juru masak yang handal, namun
di balik kehandalannya, ia ternyata dijual oleh ayahnya kepada laki-laki
berkebangsaan Eropa. Ia dibeli karena keahlian mengelola bumbu, memasak, dan
menghidangkan makanan lezat. Tak hanya Diah Ayu, ternyata semakin banyak juga
perempuan pribumi yang mengalami hal yang sama. Dengan kepentingan bahwa mereka
mampu melayani tak hanya seksualitas namun juga urusan makan.
Bagi keluarga-keluarga
Belanda di tanah kolonial, seorang juru masak yang pandai tak hanya merupakan
kekayaan keluarga, tapi bahkan harga diri. Meskipun para perempuan tersebut
hanya sebagai ‘gundik’ justru mereka mampu mengoptimalkan kekuatannya. Kekuatan
tersebut ada pada penguasaanya pada mengaplikasikan bumbu masak menjadi
hidangan hal ini dijadikan sebagai alat pemberontakan kepada para bangsa Eropa.
Seperti halnya Diah Ayu
ia bisa menciptakan adonan-adonan aneh yang bisa membuat seorang laki-laki
kehilangan birahinya untuk selama-lamanya. Lebih cerdasnya lagi ia kemudian
mencipatakan makanan lain yang mampu membunuh secara perlahan agar tidak
menimbulkan kecurigaan. Diah membuat seseorang yang menyatap hidangan olahannya
akan jatuh sakit dan mati dalam waktu satu sampai dua minggu. Sehingga tak ada
kecurigaan yang muncul sehingga kematian tersebut terlihat sangat natural.
Bentuk perempuan
menunjukkan kekuatannya dari memasak juga tergambarkan dalam film Kartini yang
diperankan oleh Dian Sastro. Dalam film tersebut perempuan dihadapkan dengan kehidupan
yang sangat terbatas. Kehidupan Kartini yang penuh dengan tradisi Jawa yaitu pingitan
yang membuat hidupnya sebagai perempuan teralienasi. Ia dihadapkan oleh
aktivitas perempuan yang hanya berkutat pada urusan rumah tangga, salah satunya
memasak.
Ibu kandung Kartini
mengatakan “jadi perempuan itu kalau masakannya enak, bisa bikin suami betah
dirumah”. Nilai-nilai tersebut yang
akhirnya memperkuat bahwa perempuan memiliki andil yang besar dalam rumah
tangga. Masakan yang ia hidangkan menjadi sebuah simbol keharmonisan dalam
keluarga.
Dalam film Kartini bahkan
menunjukkan hal yang sama dengan cerita Diah Ayu sang juru masak. Kartini
dengan kecerdasannya menyampaikan pesan kepada teman Belandanya melalui kertas
yang dibungkus daun pisang yang dicampurkan dengan sayur lodeh buatannya.
Melalui sayur lodeh
masakannya, akhirnya Kartini dibebaskan dari pingitannya dan ia
diberikan kesempatan untuk bersekolah ke Belanda. Masakan seolah bisa menjadi
senjata untuk menuju kebebasan. Kita bisa melihat bahwa, Sebuah kekuatan dan
kecerdikan seorang perempuan digambarkan sangat apik melalui hal sederhana
namun berdampak besar.
Kekuatan perempuan
lainnya juga tercerminkan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya(2005). Sosok
Nyai Ontosoroh memiliki kekuatan besar sebagai seorang perempuan yang berstatus
‘gundik’. Ia mampu mengurus rumah tangga, melayani seorang laki-laki
Eropa, mengurus dapurnya bahkan hingga para karyawan yang bekerja padanya dan
pada suaminya.
Perempuan seolah
tergambarkan memiliki kekuatan perlawanan besar, ketika Nyai Ontosoroh menuntut
keadilan hukum, yang pada saat itu tak sama sekali memihak padanya yang hanya
seorang gundik dan perempuan pribumi. Namun dengan segala kekuatannya, ia mampu
berjuang untuk mendapatkan keadilannya.
Realitas hari ini memang berbeda dengan masa
penjajahan Eropa. Hari ini kita disuguhkan bahwa, meskipun saat ini sudah
banyak laki-laki yang memasuki dunia masak secara profesional. Keberadaan
perempuan dalam mengolah makanan masih menjadi bagian penting. Acara ajang
lomba memasak yang ditayangkan di televisi misalnya, selama beberapa season
acara tersebut menghadirkan sosok perempuan.
Kehadiran perempuan dalam acara masak tersebut, justru
menjadi sebuah bumbu yang menarik. Menariknya adalah dunia masak prefesional
atau kita katakan seorang chef
didominasi oleh laki-laki. Namun adanya perempuan sebagai juri dan
beberapa peserta lomba masak juga perempuan menunjukkan bahwa perempuan
memiliki kekuatan.
Kekuatan ini menjadi sebuah bentuk perlawanan bahwa,
dengan begitu banyak nilai-nilai patriarki yang menghantui mereka. Namun mereka
melakukan perlawanan dengan memasak. Mereka berusaha menunjukkan daya saingnya,
kekuatannya, untuk bisa bersaing untuk mendapatkan kesempatan memasak dalam lingkup yang lebih besar.
Dari hal ini
kita bisa melihat bahwa meskipun perempuan sampai saat ini masih dihantui oleh
nilai-nilai patriarki, salah satunya dengan stigma bahwa perempuan harus pandai
memasak, nampaknya ini justru menjadi salah satu kekuatan besar yang perempuan
miliki.
Kita bisa belajar dari Diah Ayu yang menjadikan
makanan sebagai senjatanya dalam melawan para bangsa Eropa. Kepandaian mengolah
makanan bukan hanya perihal cara meracik makanan agar terasa lezat oleh indra
perasa kita. Tapi kepandaian memasak bisa dijadikan sebagai identitas perempuan
serta perlawanan perempuan pada hal-hal yang mendiskriminasinya.
Hal ini menyadarkan bahwa tuntutan perempuan harus pandai
masak bisa dimanfaatkan sebagai media perlawanan bagi perempuan terhadap
hal-hal yang membatasi geraknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar