Senin, 28 Agustus 2023

Cinta Dalam Sunyi

 

CINTA DALAM SUNYI
Oleh Febriawan Bachtiar

             Aku jatuh cinta pada sesuatu yang membuatku merasa terpanah dengan keadaan yang ternyaman, seperti aku duduk di taman bunga yang indah dan dengan hebusan angin yang lembut denganya ketenangan melebur hingga lenyaplah segala bentuk kegelisahan dan kegundahan.

            Aku mengenalnya tidak sengaja, yang terlihat hanyalah bola matanya yang indah, rembulan telah jatuh dimatanya! Taman Bunga telah tercipta dimatanya! Meskipun Sebagian wajahnya ditutupi masker, ada sesuatu rasa yang tiba-tiba muncul, aku terpaku dibuatnya, tidak berbuat apa-apa tapi aku tak berdaya tetap saja aku bersembunyi dari kekaguman itu.

            Kita dipertemukan dalam acara kegiatan sosial disebuah kampung terpencil pinggir laut Jakarta Utara, kegiatan untuk membangun perpustakaan mini yang diselenggrakan oleh gabungan anak muda yang peduli dengan literasi, dan perkumpulan ini merajut dari omongan ke omongan dan dia Wanita itu adalah temannya teman ku.

“Bro yang make masker itu siapa?”

“Oh itu wanitalah” Candaan Restu.

“Gua juga tau, yang gua tanya bukan jenis kelaminya, namanya siapa dia”

“hahahahahah, itu temen kampus gua, namanya Nabila, panggilannya Bila”

“Oh Nabila yah”

“kenapa lu, demen yah”

“heheheheheh”

            Nabila Namanya, tapi aku lebih suka memanggilnya Bila.

Sebenarnya kegiatan sosial menumbuhkan literasi dimasyarakat adalah ide Restu, ia sering sekali mengajakku berdiskusi tentang pentingnya literasi di kalangan Masyarakat dari anak kecil-remaja-dewasa sampai ke orang tua sekali pun, karna masyarakat telah di sibukan oleh kebutuhan-kebutuhan finansial apa lagi didaerah kumuh seperti ini, rasanya sangat jarang, bahkan terlihat tidak ada masyarakat yang sedang membaca buku, bukankah buku itu menjadi jendela dunia, dengan membaca buka akan membuka wawasan berfikir, melapangkan dada dan mengaktifkan otak dan perasaan, bahkan dengan buku imajinasi dapat menjelajahi dunia, dapat mengenal kebudayaan, biografi seseorang, keadaan negara-negara dan masih banyak lagi. Dari kegelisahan itu hingga muara menjadi ide dan gagasan, Restu dan aku membagi tugas, aku berhubungan dengan Masyarakat dan Restu mencari relawan untuk mengajarnya, Yah begitulah!

            Aku memperhatikan dengan sangat syahdu, ketika Bila mengenalkan dirinya ke anak-anak, sama sekali aku tak meperdulikan sekitar, yang aku lihat adalah senyum dan ketawanya serta bola matanya.

“Assalamualaikum adik-adik” Ucap Nabila.

“Walaikumsalam kakak cantik” Ucap adik-adik dengan hentakan ramai.

Aku langsung tertawa, dan Bila pun tersipu malu, lagi-lagi senyumnya itu seperti senja di akhir magrib, warna orangenya tak bisa aku pejamkan walau sekedip mata. Dia memang cantik! Kata hati ku.

“Perkenalkan nama kakak Nabila”

“Hay kak Nabila”

“Apa kabar kalian adik-adik”

“Baik kok kak”

“Untuk beberapa bulan ini kakak akan mengajar diperpustakaan mini ini yah, jadi adik-adik wajib mengikuti kegiatan belajar, kakak jamin pasti akan seruh deh”

“Kenapa gak selamanya kak ngajar disini ? Tanya salah satu anak.

“Kan kakak punya kegiatan yang lain”Jawab Nabila

“ Yah, kalo kakak ngajar kan kita jadi betah di ajarin, heheheheh”

“Ehh kamu bisa saja”

“Memangnya kakak mau ngajar apa” Tanya salah satu anak.

“Kakak akan mengajar kalian matematika” Jawab Nabila

“Yah matematika” Serentak anak-anak.

“Males kak saya kalo matematika” Ucap salah satu anak.

“Oh tenang nanti kakak ngajarin matematikanya beda dari yang lain”

“Bener yah kak” Serentak anak-anak.

“Bener, jadi siap kakak ajarin” Seru Nabila.

“ Siap kak”. Serentak anak-anak dengan semangat.

            Waktu sudah menuju sore, langit sudah berwarna kuning buah mangga yang telah ranum, observasi dan perkenalan terhadap masyarakat sekitar sudah selesai. Aku terus mencuri-curi pandangan, Bila sedang mengobrol dengan restu, sementara aku masih mengobrol dengan anak-anak, hanya gimik saja!. Restu dan Bila menghampiriku dan Restu mengenaliku dengan Bila.

“Nah Nabila ini Bakri, dia yang pernah gua ceritain ke lu”

“Saya Nabila” Sambil senyum.

“Oh iyah, Saya Bakri”

“Terimakasih udah mau nerima saya disini”

“Haduh, saya yang seneng bisa ngeliat kamu, eh maksudnya seneng bisa mandang kamu, eh maksudnya bisa ngajar disini”. Grogi yang canggung.

“Yaudah saya balik dulu yah”

“Nabila anterin sama Bakri aja, eh lu anterin tuh dia” Ucap Restu

“Gak usah restu, gua bisa sendiri kok” Saut Nabila.

“Udah aman, siapkan lu Bakri”

“Gua sih gas aja, tapi mau gak dianya,”

“Hemmm, boleh deh”

“Yaudah gas gak pake rem” Senangnya.

            Sepertinya Restu sangat memahami situasi yang sedang terjadi, restu memberikan sandi-sandi lewat gimiknya, dan aku memahami itu. Aku mengantarkan Bila dengan motor astrea.

“ Ayo Bil, mumpung udah di servis dan udah di cuci nih, jok nya juga empuk, jadi pokok nya nyaman kok, heheheheh” Sambil bercanda.

“Haduh, sampe segitunya heheheh” Sambil tersenyum

“Restu jalan dulu yah” Sapaku

“Gua jalan dulu yah” Ucap Nabila.

“Yaudah hati-hati lu” Saut Restu

            Starter motor aku nyalakan, gigi satu aku naikan, jalan secara perlahan dan seterusnya, seketika semua berubah, bunga-bunga jatuh dari langit yang jingga, musik romantis biola mengiringi perjalanan, semua terasa indah! Hati ku merasa senang dan canggung harus seperti apa, untuk berbicara saja seperti mulut digelantungi burble lima kilogram, tetapi aku tetap berusaha ingin mengobrol kepadanya.

“Bila lagi sibuk apa?” Tanyaku

“Saya lagi sibuk apa yah, yah begini aja”Jawab Nabila

“Begini gimana heheh”

“Yah lagi nunggu wisuda aja sih, sambal ngisi waktu kosong, kebetulan di ajak sama restu”

“Ketemu Restu dimana?”

“Di kampus”

“Oh satu kampus sama restu toh, satu jurusan sama restu?”

“Gak sih, kita ketemunya di BEM, kebetulan dia ketua BEM nya, nah gua sekertarisnya, dan kita sering ngobrol terkait pentinya literasi bagi Masyarakat, dam mau kita masukin program BEM, tapi karna sedikit kendala jadi kita independent aja, nah Restu nyeritain kamu Bakri”

“Eh manggilnya jangan saya kamu kali yah, kayak gimana gitu heheheheh, eh Restu nyeritain gimana?”.

“Dia cerita kalo, dia punya temen, punya kemauan mau buat perpustakaan mini, dan dia ngebuat tuh, tapi hanya hari minggu saja bukanya, dan udah buat beberapa kegiatan, kayak ngegambar bareng di pinggir laut, juga acara kesenian-kesenian gitu, dan dia nawarin gua untuk jadi pengajar”

“Oh begitu yah ceritanya”

“Tapi lu kenapa buat perpustakaan mini, terus lu dananya dari mana”

“Yah gimana yah, gua takut di bilang lebay heheh”

“Haduh apaan dah”

“ Iyah dah, yah gua seneng aja gitu maen sama anak-anak, maen-maen, terus sambal maen belajar-belajaran tuh, ternyata anak-anak antusias, akhirnya gua punya ide bua perpustakaan mini deh, gua ngobrol sama Restu gimana teknisnya, akhirnya gua gunain lahan kosong, gua bikin dari bambu di bantu sama kakak gua, jadi tuh, nah gua bongkar celengan gua untuk beli papan tulis kecil, sepidol, beli rak buku, dan gua pindahin buku dikamar gua ke perpustakaan mini”

“Wah seruh juga yah, oh iyah nanti kita lanjut lagi yah, gua turun di stasiun kota aja deh yah”

“okeh deh”

“Makasih yah”

“Iyah sama-sama”

            Di jalan balik aku senyum-senyum sendiri, karna Wanita yang aku taksir dan aku anter ternyata nyaman mengobrol dengan ku. Warna menjadi merah muda! Hatiku bertumbuh taman bunga yang segar, warnanya cerah kesejukan! Aku menjadi daun waktu subuh yang ingin sekali menjadi tempat embun menyambut matahari!



                                                                                               BERSAMBUNG ....(akan ada kembali)

Kamis, 24 Agustus 2023

Teater Gangster-O mengkritik melalui Karya Teater




 Teater Gangster-O mengkritik seseorang yang mengakui sebuah bangunan yang dijadikan pos RW, dimana tempat itu menjadi wadah kreatifitas warga setempat. Rabu 26/07/2023

 Dalam ajang Festival Teater Jakarta Barat ke-50 Tahun 2023 yang di selenggarakan oleh Ikatan Darama Jakarta Barat (INDRAJA), Teater Gangster-O menjadi salah satu peserta yang membawakan lakon Guk-Guk karya Ayak MH. Pementasan teater tersebut menceritakan perlawanan warga yang tidak suka bangunan yang menjadi tempat kreatifitas anak warga dibongkar " pertunjukan ini sebagai kegelisahan kami untuk mengungkapkan apa yang sedang terjadi di daerah kami, kami menolak tempat yang sering kami pakai untuk melakukan berkreatifitas dibongkar, yang saya takutkan kalo tidak Ada hal yang positif, takutny mereka ke hal-hal yang negatif" Ujar Alpian sebagai sutradara

Sekitar 300 penonton sangat antusias dan sangat serius menyaksikan pementasan Teater Gangster-O, berbagai kalangan yang menonton dari yang remaja sampai yang tua juga menonton, pementasan tersebut berlangsung pada Rabu, 26 Juli 2023 , pukul 19.30 WIB di Auditorium GOR Grogol Jakarta  Barat

'saya sangat suka melihat pementasan ini, saya suka adil-adik saya bermain di atas panggung dan itu menjadi hal yang positif " Ujar Bang Mung selalu ketua Katar.

Teater menjadi hiburan bagi masyarakat sekitar, apalagi teater menjadi saluran yang tepat untuk mengunkapkan kegelisahan yang berada di kampung tersebut sehingga pesannya sangat sampai kepada yang menonton, dan sebut sebagai teater kontekstual " teater yang sesungghunya yah kamu, kamu sudah berhasil menampilkan teater untuk masyarakat dan konteksnya sangat pas, itu yang disebut teater konrekstual" Ujar Deden selaku Juri.

"Saya mengikuti festival ini tujuannya bukan menang tapi bagaimana anak-anak saya menyampaikan ini semua dengan tidak anarkis" Ujar Alpian.

Rabu, 23 Agustus 2023

PEREMPUAN, MASAKAN, DAN PERLAWANAN

 

PEREMPUAN, MASAKAN, DAN PERLAWANAN

Oleh : Vivi Maulia Rahma

Sajian makanan yang saat ini sering kita makan dan kita coba untuk mengolahnya di kehidupan sehari-hari tentunya memiliki sejarah panjang. Olahan makanan tersebut tak bisa terlepas dari peran perempuan dalam proses pengolahannya.

Peran perempuan dalam mengolah makanan bisa kita amati dalam unit kelompok sosial terkecil yaitu keluarga. Ibu memiliki banyak peran dalam menentukan bahan apa yang bisa diolah menjadi makanan dan bisa dinikmati oleh anggota keluarga. Bahkan mayoritas masyarakat lebih menyukai masakan ibunya sendiri daripada masakan di resto-resto terkenal sekalipun.

Dalam sejarah kehidupan masyarakat Eropa di Hindia-Belanda tertuliskan bahwa, perempuan memiliki peran utama dalam membuat sajian makanan. Laki-laki Eropa yang bertugas di perkebunan dengan sengaja menikahi perempuan pribumi tak hanya untuk memenuhi hasrat seksualnya. Namun juga untuk memenuhi nafsu makannya.

Para perempuan pribumi ini disebut dengan istilah ‘nyai’ mereka tanpa sengaja ikut andil dalam proses alkulturasi makanan pribumi dan makanan Eropa. Bangsa Eropa pada saat itu bisa mengenal dan menyantap nasi sebagai hidangan makanan mereka berkat kelihaian tangan-tangan perempuan dalam mengolah makanan.

Dalam buku Rijstafel (2016) Fadly Rahman mengatakan bahwa sajian makanan yang terdiri dari nasi serta lauk pauknya merupakan bentuk alkulturasi antara budaya Eropa dan Pribumi. Melalui tangan lihai perempuan bangsa Eropa yang terbiasa menyantap makanan yang cenderung hambar, akhirnya mereka terbiasa dengan budaya makan masyarakat pribumi yang menyantap nasi serta beragam lauk pauknya.

Kelihaian perempuan dalam mengolah makanan dipengaruhi juga oleh kekayaan rempah-rampah yang dimiliki bangsa ini. Kekayaan rempah-rempah ini juga akhirnya membawa dampak lain yaitu, kedatangan bangsa Eropa. Tercatat empat negara Eropa yang hadir untuk mengekspansi rempah-rempah yaitu Spanyol, Inggirs, Portugis, Belanda.

Masing-masing negara tersebut berusaha untuk menguasai rempah-rempah karena mereka tahu bahwa banyak manfaat yang diambil. Salah satunya adalah membuat cita rasa kuliner di negaranya kaya akan rasa. Meskipun mereka mengekspansi rempah-rempah tetap kelihaian seseorang diperlukan untuk membuat rasa makanan menjadi lezat. Kelihaian tersebut yang dimiliki oleh perempuan.

Eka Kurniawan mencoba menggambarkan kelihaian dan kekuatan perempuan dalam memasak dalam bukunya yang berjudul Cinta Tak Ada Mati (2012).  Eka menceritakan sosok Maharani yang digambarkan sebagai sosok perempuan yang hanya mengurusi urusan rumah tangga dan dapur. Ia hanya tau membikin anak, menyiapkan sarapan pagi, siang dan malam. Namun ia terpesona dengan keahlian memasak dari seorang juru masak perempuan yang bernama Diah Ayu.

Diah Ayu menjadi seorang juru masak yang handal, namun di balik kehandalannya, ia ternyata dijual oleh ayahnya kepada laki-laki berkebangsaan Eropa. Ia dibeli karena keahlian mengelola bumbu, memasak, dan menghidangkan makanan lezat. Tak hanya Diah Ayu, ternyata semakin banyak juga perempuan pribumi yang mengalami hal yang sama. Dengan kepentingan bahwa mereka mampu melayani tak hanya seksualitas namun juga urusan makan.

Bagi keluarga-keluarga Belanda di tanah kolonial, seorang juru masak yang pandai tak hanya merupakan kekayaan keluarga, tapi bahkan harga diri. Meskipun para perempuan tersebut hanya sebagai ‘gundik’ justru mereka mampu mengoptimalkan kekuatannya. Kekuatan tersebut ada pada penguasaanya pada mengaplikasikan bumbu masak menjadi hidangan hal ini dijadikan sebagai alat pemberontakan kepada para bangsa Eropa.

Seperti halnya Diah Ayu ia bisa menciptakan adonan-adonan aneh yang bisa membuat seorang laki-laki kehilangan birahinya untuk selama-lamanya. Lebih cerdasnya lagi ia kemudian mencipatakan makanan lain yang mampu membunuh secara perlahan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Diah membuat seseorang yang menyatap hidangan olahannya akan jatuh sakit dan mati dalam waktu satu sampai dua minggu. Sehingga tak ada kecurigaan yang muncul sehingga kematian tersebut terlihat sangat natural.

Bentuk perempuan menunjukkan kekuatannya dari memasak juga tergambarkan dalam film Kartini yang diperankan oleh Dian Sastro. Dalam film tersebut perempuan dihadapkan dengan kehidupan yang sangat terbatas. Kehidupan Kartini yang penuh dengan tradisi Jawa yaitu pingitan yang membuat hidupnya sebagai perempuan teralienasi. Ia dihadapkan oleh aktivitas perempuan yang hanya berkutat pada urusan rumah tangga, salah satunya memasak.

Ibu kandung Kartini mengatakan “jadi perempuan itu kalau masakannya enak, bisa bikin suami betah dirumah”.  Nilai-nilai tersebut yang akhirnya memperkuat bahwa perempuan memiliki andil yang besar dalam rumah tangga. Masakan yang ia hidangkan menjadi sebuah simbol keharmonisan dalam keluarga.

Dalam film Kartini bahkan menunjukkan hal yang sama dengan cerita Diah Ayu sang juru masak. Kartini dengan kecerdasannya menyampaikan pesan kepada teman Belandanya melalui kertas yang dibungkus daun pisang yang dicampurkan dengan sayur lodeh buatannya.

Melalui sayur lodeh masakannya, akhirnya Kartini dibebaskan dari pingitannya dan ia diberikan kesempatan untuk bersekolah ke Belanda. Masakan seolah bisa menjadi senjata untuk menuju kebebasan. Kita bisa melihat bahwa, Sebuah kekuatan dan kecerdikan seorang perempuan digambarkan sangat apik melalui hal sederhana namun berdampak besar.

Kekuatan perempuan lainnya juga tercerminkan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya(2005). Sosok Nyai Ontosoroh memiliki kekuatan besar sebagai seorang perempuan yang berstatus ‘gundik’. Ia mampu mengurus rumah tangga, melayani seorang laki-laki Eropa, mengurus dapurnya bahkan hingga para karyawan yang bekerja padanya dan pada suaminya.

Perempuan seolah tergambarkan memiliki kekuatan perlawanan besar, ketika Nyai Ontosoroh menuntut keadilan hukum, yang pada saat itu tak sama sekali memihak padanya yang hanya seorang gundik dan perempuan pribumi. Namun dengan segala kekuatannya, ia mampu berjuang untuk mendapatkan keadilannya.

Realitas hari ini memang berbeda dengan masa penjajahan Eropa. Hari ini kita disuguhkan bahwa, meskipun saat ini sudah banyak laki-laki yang memasuki dunia masak secara profesional. Keberadaan perempuan dalam mengolah makanan masih menjadi bagian penting. Acara ajang lomba memasak yang ditayangkan di televisi misalnya, selama beberapa season acara tersebut menghadirkan sosok perempuan.

Kehadiran perempuan dalam acara masak tersebut, justru menjadi sebuah bumbu yang menarik. Menariknya adalah dunia masak prefesional atau kita katakan seorang chef  didominasi oleh laki-laki. Namun adanya perempuan sebagai juri dan beberapa peserta lomba masak juga perempuan menunjukkan bahwa perempuan memiliki kekuatan.

Kekuatan ini menjadi sebuah bentuk perlawanan bahwa, dengan begitu banyak nilai-nilai patriarki yang menghantui mereka. Namun mereka melakukan perlawanan dengan memasak. Mereka berusaha menunjukkan daya saingnya, kekuatannya, untuk bisa bersaing untuk mendapatkan kesempatan  memasak dalam lingkup yang lebih besar.

 Dari hal ini kita bisa melihat bahwa meskipun perempuan sampai saat ini masih dihantui oleh nilai-nilai patriarki, salah satunya dengan stigma bahwa perempuan harus pandai memasak, nampaknya ini justru menjadi salah satu kekuatan besar yang perempuan miliki.

Kita bisa belajar dari Diah Ayu yang menjadikan makanan sebagai senjatanya dalam melawan para bangsa Eropa. Kepandaian mengolah makanan bukan hanya perihal cara meracik makanan agar terasa lezat oleh indra perasa kita. Tapi kepandaian memasak bisa dijadikan sebagai identitas perempuan serta perlawanan perempuan pada hal-hal yang mendiskriminasinya.

Hal ini menyadarkan bahwa tuntutan perempuan harus pandai masak bisa dimanfaatkan sebagai media perlawanan bagi perempuan terhadap hal-hal yang membatasi geraknya.



PERKEMBANGAN TRADISI NADRANAN MUARA ANGKE JAKARTA UTARA TAHUN 2010 - 2019



 

Febriawan Bachtiar, Rikza Fauzan, Eka Ribawati

Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Jl. Raya Ciwaru No.25 Serang Banten

Email: bachtiarfb14@gmail.com., rikza.fauzan@untirta.ac.id., eka.ribawati@untirta.ac.id.

Abstrak : PERKEMBANGAN TRADISI NADRANAN MUARA ANGKE JAKARTA UTARA TAHUN 2010-2019.  Tujuan penelitian ini memaparkan sebuah perkembangan tradisi nadranan yang berada di Muara Angke yang menjadi tempat tinggal daripada masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Tradisi nadranan ini adalah sebuah ritual yang sudah menjadi identitas budaya yang dilakukan oleh masyarakat nelayan Muara Angke sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang memiliki laut agar supaya diberikan keamanan dan kenyamanan ketika para nelayan mencari sumber penghasilan di laut.

Peneltian ini menggunakan metode penelitian sejarah terdiri dari beberapa tahap seperti pengumpulan data, kriti, interpretasi dan historigrafi. Penelitian ini  dilakukan dengan  menggunakan studi pustaka dan wawancara. Berdasarkan hasil penelitian. Awal kemunculannya tradisi ini berawal dari orang-orang Indramayu yang migrasi dan kemudian bertempat tinggal di Muara Angke, mereka membawa budaya dari tempat asalnya. Tradisi nadranan ini mengalami perkembangan secara signifikan mulai dari sarana dan prasarananya hingga kepada fungsinya, proses itu adalah sebuah bentuk adaptasi agar tradisi ini tetap bertahan mengingat tradisi ini sudah sebagai pedoman kehidupan bagu para ,masyarakat nelayan.

 

Kata Kunci : Tradisi nadranan, Perkembangan Fungsi, makna dan simbolik

 

PENDAHULUAN

        Di setiap daerah acara ritual sedekah laut memiliki kekhasasnya sendiri-sendiri, mulai dari penyebutan atau penamaan ritual yang berbeda-beda, hingga kepada proses ritual sedekah laut yang mempunyai tata cara yang berbeda pula. di Jawa Timur, tepatnya lamongan, masyarakat nelayannya menyebut dekat laut dengan Tutup Layang, sementara di Madura menyebut sedekah laut dikenal dengan Rakatan, dan di Banyuwangi di sebut Petik Laut istilah lain menyebutnya sedekah laut. Masyarakat pesisir Yogyakarta Parangtritis mengenal sedekah laut dengan Jaladri, untuk istilah sedekah laut itu sendiri, masyarakat pesisir pantai Selatan terutama di Kabupaten Gunung Kidul menggunakan istilah tersebut untuk melakukan slametan Laut (Setiawan, Eko;, 2016). Masyarakat pesisir merupakan kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir. Golongan masyarakat pesisir yang dianggap paling memanfaatkan hasil laut dan potensi lingkungan perairan dan pesisir untuk kelangsungan hidupnya adalah Nelayan (Kusnadi, 2007). Wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut, ke arah darat meliputi bagian daratan yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang ada di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar serta daerah yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam pasal 1 ayat 2 menjelaskan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

Wilayah Muara Angke merupakan Wilayah pesisir yang terletak di bagian utara sebelah barat Propinsi DKI Jakarta dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Kawasan Muara Angke termasuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan Kota Jakarta Utara.Daerah perikanan Muara Angke memiliki luas wilayah 77.9 ha. Batas-batas Kawasan Muara Angke adalah Sebelah barat berbatasan dengan Kali Angke Sebelah timur berbatasan dengan Jalan Pluit Barat Sebelah selatan berbatasan dengan Kali Angke Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa Kawasan Muara Angke secara geografis terletak pada LS sampai LS dan BT sampai BT, dengan tinggi rata-rata 0m di atas permukaan air laut. Kawasan Delta Muara Angke diapit oleh 2 anak sungai, yaitu Kali Angke di sebelah timur dan Kali Adem di sebelah barat.Kampung Nelayan Muara Angke yang dikenal sebagai lokasi pelelangan dan pelabuhan ikan yang memiliki tatanan kehidupan masyarakat lokal dengan sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan dan pengolah hasil perikanan yang mempunyai keterkaitan dengan sumber daya yang mereka miliki.

Masyarakat Muara Angke merupakan masyarakat perantauan yang berasal dari Indramayu, Brebes, Tegal, Banten dan Bugis tetapi  yang lebih mayoritasnya adalah orang-orang Indramayu bagian pesisir. Dalam Struktur sosial masyarakat Nelayan Muara Angke ada beberapa klasifikasi yaitu nelayan tangkap, nelayan lapak dan nelayan pengelola. Nelayan tangkap, nelayan lapak dan nelayan pengelola sangat berkaitan dan saling bekerja sama, apabila salah satunya ada yang tidak melakukan aktivisanya maka kegiatan ekonominya tidak berputar, dalam teori  struktural fungsional sangat yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Selain itu juga Ibnu Khaldun berpendapat mengenai masyarakat, menurutnya manusia itu memerlukan masyarakat, artinya bahwa manusia itu butuh kerja sama antara sesamanya untuk dapat hidup, baik untuk memperoleh makanan atau maupun mempertahankan diri. (Kholdun, 2001, p. viii).

Masyarakat Muara Angke memiliki kebudayaan kebaharian yaitu sedekah laut atau bahasa lokalnya adalah nadranan. Sedekah laut menjadi sebuah bentuk budaya bahari yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat nelayan Muara Angke didalam arus masyarakat  perkotaan. Tradisi sedekah laut adalah salah satu ritual yang dilakukan oleh masyarakat pesisir, dan kebanyakan ritual semacam ini dilakukan oleh masyarakat nelayan terutama di pulau Jawa, sedangkan istilah sedekah laut yang disebut dengan nadranan oleh masyarakat Muara Angke itu berasal dari Indramayu karena penduduk mayoritas di Muara Angke adalah orang-orang pendatang dari Indramayu bagian pesisir sehingga mereka membawa kebiasaan atau budaya bahari tersebut ke Muara Angke, sebab tradisi nadranan bagi masyarakat pesisir Indramayu menjadi pedoman hidup yang harus dilakukan sebagai bentuk terimakasih kepada Tuhan.

Fenomena tersebut mengalami perubahan fungsi, dalam teorinya fungsionalisme yang dipopulerkan oleh Bronislaw Malinowski, yang pada intinya bahwa budaya mengalami perubahan karna kebutuhan manusianya itu sendiri untuk menghadapi tantangan zaman, yang dimaksud kebutuhan untuk menghadapai tantangan zaman ialah kebutuhan kebudayaan, pendidikan, dan integratif. Tradisi Nadranan juga mengalami perubahan berdasarkan kebutuhan dan tantangan zaman agar tradisi nadranan ini menjadi kearifan lokal yang semua anak bangsa harus menjaga dan melestarikannya, karna di dalam buku yang berjudul Kearifan lokal karagan Sibrani bahwa Kearifan lokal merupakan pengetahuan masyarakat yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan kedamaian bagi masyarakat dalam masyarakat (Darisma, 2018). Tradisi nadranan menjadi sebuah identitas budaya masyarakat Indramayu yang kemudian memperkenalkan di wilayah Muara Angke dan mampu beradaptasi terhadap orang-orang diluar Indramayu yang memiliki latar belakang yang berbeda, inilah yang dikatakan oleh Prof Irwan Abdullah sebagai reproduksi kebudayaan, menurutnya reproduksi kebudayaan merupakan proses penegasan identitas budaya yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan keberadaan kebudayaan asalnya (Abdullah, 2015, p. 45).

Pelaksanaan tradisi nadranan dalam perkembangannya juga di pengaruhi ekonomi masyarakar Muara Angke karna sebelum di tahun 2010 - 2019, nadranan dilaksanakan berdasarkan kemampuan pendapatan para nelayan, apabila pendapatan nelayan tinggi maka acaranya meriah tetapi kalau pendapatannya rendah maka acaranya biasa-biasa saja bahkan ada yang tidak melakukan karena tidak ada biaya untuk melakukan Nadranan. Tingkat kemiskinan di muara angke masih terbilang tinggi. Kemiskinan menurut penyebabnya dibagi menjadi dua, yakni kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan kultural disebabkan oleh adanya budaya maupun faktor-faktor adat yang menghalangi masyarakat untuk melakukan perubahan ke taraf hidup yang lebih baik. Kemiskinan struktural disebabkan karena ketidakberdayaan sekelompok masyarakat akibat tatanan sosial yang tidak adil karena mereka memiliki posisi yang lemah untuk berkembang (Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Kedeputian Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan: 2010, 8). Dilihat dari penyebabnya, kemiskinan yang terjadi di Muara Angke termasuk dalam kategori kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan kultural di Muara Angke disebabkan karena adanya pranata sosial masyarakat perikanan yang tidak memihak pada masyarakat nelayan, sementara kemiskinan struktural disebabkan karena nelayan di Muara Angke tidak memiliki modal untuk mengembangkan usahanya, sehingga mereka tetap miskin. Selain itu, pemerintah juga tidak gencar membantu perubahan ekonomi maupun perubahan struktural masyarakat Muara Angke sehingga masyarakatnya masih terbelenggu dalam kemiskinan (Nadia, 2016). Permasalahan kemiskinan tersebut sehingga mempengaruhi pelaksanaan tradisi Nadranan karna tetap saja persiapan nadranan membutuhkan biaya seperti untuk membeli kepala kerbau, membelasi sesaji-sesaji bahkan sampai pembuatan perahu ritualnya. Tetapi di tahun 2010 - 2019 nadranan mengalami kemajuan dalam hal pelaksanannya, acaranya lebih meriah karna mendapat dana bantuan dari, para pengepul-pengepulikan, perusahaan-perusahaan, dan lembaga masyarakat setempat

METODE PENELITIAN

Metode sejarah mempunyai metode sendiri dalam mengungkapkan peristiwa masa lalu agar dapat mengasilkan karya sejarah yang kritis dan objektif. Metode sejarah adalah suatu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschalk, 2006, p. 39).

A.    Heuristik

Kata Heuristik berasal dari kata “Heuriskein” dalam Bahasa yunani yang berarti mencari atau menemukan, dalam Bahasa latinHeuristik dinamakan sebagai asr inveniendi (seni mencari) atau sama artinya dengan isatilah arst of invention dalam Bahasa inggris (Daliman, 2012, p. 52)

B.     Kritik (Verifikasi)

Setelah melalui tahap pengumpulan data selanjutnya masuk pada tahapan kritik sumber yaitu untuk mengetahui validitas dari suatu sumber sejarah. Tujuan dari kegiatan-kegiatan itu adalah bahwa setelah sejarawan berhasil mengumpulkan sumber-sumber dalam penelitiannya, ia tidak akan menerima begitu saja apa yang tercantum dan tertulis pada sumber-sumber itu. Langkah selanjutnya ia harus menyaringnya secara kritis, terutama terhadap sumber-sumber pertama, agar terjaring fakta yang menjadi pilihannya. Langkah-langkah inilah yang disebut kritik sumber, baik terhadap materi (ekstern) maupun terhadap substansi (isi) sumber (Sjamsudin, Metodelogi Sejarah, 2016, p. 83).Menurut Daliman Kritik sumber dibagi menjadi dua yaitu kritik eksternal dan kritik internal.Kritik Eksternal dimaksud untuk menguji otensitas (keaslian) suatu sumber. Kritik Internal dimaksudkan untuk menguji kredibilitas dan reabilitas suatu sumber (Daliman, 2012, p. 66)

C.    Interprestasi

Tahap ketiga Interpretasi berarti menafsirkan atau memberi makana kepada fakta-fakta (Facts) atau bukti-bukti sejarah (Evidences) secara metodologi interpretasi merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan proses penelitian sejarah (Historical Research) dan penulisan sejarah (Historical Writing). Interpretasi adalah upaya penafsiran atas fakta-fakta sejarah dalam kerangka rekonstruksi realitas masa lampau. Fakta-fakta sejarah yang jejak-jejaknya masih Nampak dalam berbagai peninggalan dan dokumen hanyalah merupakan sebagian dari penomena realitas masa lampau, dan yang harus disadari bahwa penomena itu bukan realitas masa lampau itu sendiri (Daliman, 2012, p. 82)Interpretasi harus memiliki nilai yang objektif, sejarah bukan beradasarkan like atau dislike tetapi berdasarkan fakta, meskipun sejarahwan memiliki nilai subjektif tetapi harus berdasarkan fakta sehingga pengetahuan yang curahkan dalam bentuk penulisan sejarah menjadi objektif.

A.    Historiografi

Penulisan sejarah (historiografi) menjadi sarana mengkomuikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap. Diuji (verifikasi) dan interpretasikan (Daliman, 2012, p. 99). Historiografi atau penulisan sejarah merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian dari metode historis. Dalam penulisan sejarah, aspek kronologi sangat penting (Kuntowijoyo, 2013, p. 80). Artiannya dalam penulisan sejarah harus terdapat tahun agar dapat terlihat perubahan-perubahan yang terjadi bahkan dapat mendeteksi pertistiwa penting yang terjadi, maka dari itu peneliti dalam penulisan sejarahnya meakai angka tahun. Hasil temuan dilapangan kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan sejarah dengan judul Perkembangan Tradisi Nadranan Masyarakat Nelayan Muara Angke Jakarta Utara tahun 2010 - 2019.

PEMBAHASAN

A.    GAMBARAN UMUM

Kondisi Geografi

      Muara Angke merupakan Wilayah pesisir yang terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi DKI Jakarta dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Kawasan Muara Angke termasuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan Kota Jakarta Utara. Daerah perikanan Muara Angke memiliki luas wilayah 77.9 ha. Batas-batas Kawasan Muara Angke adalah Sebelah barat berbatasan dengan Kali Angke Sebelah timur berbatasan dengan Jalan Pluit Barat Sebelah selatan berbatasan dengan Kali Angke Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa Kawasan Muara Angke secara geografis terletak pada LS sampai LS dan BT sampai BT dengan tinggi rata-rata 0m di atas permukaan air laut. Kawasan Delta Muara Angke diapit oleh 2 anak sungai, yaitu Kali Angke di sebelah timur dan Kali Adem di sebelah barat.Kampung Nelayan Muara Angke yang dikenal sebagai lokasi pelelangan dan pelabuhan ikan.

Kondisi Demografi

 

Tahun

Laki

Perempuan

Jumlah

2013

24.200

24.655

48.855

2014

24.565

24.951

49.516

2015

24.443

24.822

49.265

2016

25.610

26.343

51.953

2017

25.761

26.553

52.314

2018

27.096

27.893

54.989

2019

27.786

28.698

56.484

                                    Tabel.1 Kependudukan Kelurahan Pluit

            (Sumber : Suku Dinas Kependudukan dan pecatatan Sipil Jakarta Utara)

Muara Angke mayoritas agamanya adalah Islam dan Muara Angke berada diwilayah kelurahan Pluit berdasarkan data kependudukan dari Suku Dinas Kependudukan dan pecatatan Sipil Jakarta Utara mengalami pningkatan atau penambahan penduduk hingga hasil dari 2019 sampai 56.484 jiwa itu disebabkan karna banyaknya pendatang yang ingin mencari kerja dan menikah dengan masyarakat setempat hingga bertempat tinggal. Kelurahan pluit menjadi tujuan bagi para pendatang untuk mencari kerja dikarekan wilayahnya terdapat pabrik-pabrik, perusahaan, pasar modern atau mall yang menjadi pusat bagi para nelayan dari luar ialah pelabuhan perikanan Muara Angke.

 Asal-usul Nama Muara Angke

                Muara Angke adalah wilayah hilir dan kuala dari Kali Angke. Sedangkan kali atau sungai ini diperkirakan dinamai menurut nama seorang panglima perang Kerajaan Banten, yakni Tubagus Angke (Tubagus atau Ratu Bagus adalah gelar kebangsawanan kerajaan Banten). Sekitar awal abad ke-16, Kerajaan Banten mengirim pasukannya untuk membantu Kerajaan Demak yang sedang menggempur benteng Portugis di Sunda Kelapa (Jakarta sekarang). Sungai di mana pasukan Tubagus Angke bermarkas kemudian dikenal sebagai Kali Angke dan daerah yang terletak di ujung sungai ini disebut Muara Angke. Pendapat yang lain dikemukakan oleh Alwi Shahab, salah seorang penulis dan budayawan Betawi. Menurutnya, kata "angke" berasal dari bahasa Hokkian, yakni "ang" yang berarti merah dan "ke" yang berarti sungai atau kali. Hal ini terkait dengan kejadian tahun 1740, saat Belanda membantai 10.000 orang Tionghoa di Glodok, yang membuat warna air Kali Angke yang semula jernih menjadi merah bercampur darah. Namun, menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, kata "angke" berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta, "anke", yang berarti kali yang dalam.

B.     Kondisi Sosial Budaya Masyarkat Muara Angke

Masyarakat Muara Angke secara mayoritas suku adalah orang-orng Indramayu bagia pesisir dan beragama Islam sehingga secara dialeg atau gaya bahasa mempunyai logat Indramayu walaupun berbicara dengan bahasa Indonesia. Muara Angke sebagai wilayah yang terletak di pesisir laut memiliki kebudayaan atau kebiasaan orang-orang pesisir. Kebudayaan ini berasal dari Masyarakat Muara Angke. Menurut Koentjraningrat ada tiga wujud kebudayaan yaitu (1) Ide dan gagasan, (2) Aktivitas, dan (3) Hasil karya manusia.(Koentjaraningrat, 2015, p. 150). Gambaran segala bentuk aktivitas masyarakat nelayan Muara Angke. Dalam ruang lingkup budaya bahari, masyarakat nelayan Muara Angke memiliki pengetahuan menentukan kapan waktu yang tepat untuk mencari ikan seperti melihat pergerakan bintang, melihat penerangan bulan, melihat warna air laut, menentukan posisi karang, bertelurnya ikan, hasil ikan-ikan yang memiliki niai ekonomis. Aktivitas nya dapat dilihat dari keuletannya untuk bertahan hidup seperti mengarungi lautan, tinggal di perahu, pembuatan ikan asin, jual-beli ikan di lapak. Artefak dapat dilihat dati peninggalannya yaitu seperti perahu, alat pancingnya, alat-alat produksi ikan Asin. Budaya bahari di Muara Angke memiliki banyak perubahan dari tradisional hingga ke modern,

 Klasifikasi Masyarakat Nelayan

Masyarakat nelayan merupakan kelompok masyarakat yang pekerjaannya melaut untuk menangkap ikan (Kusnadi, Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, 2006). Di Muara Angke nelayan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu nelayan tangkap, nelayan lapak dan nelayan pengelola.

Nelayan tangkap adalah nelayan yang aktivitasnya khusus menangkap hasil laut, bahkan nelayan juga terdapat beberapa jenis dalam hal mata pencahariannya seperti nelayan rajung, nelayan kerang ijo, nelayan ikan, nelayan cumi. Alat transportasi yang digunakan  nelayan yang menggunakan kapal kecil (tradisional) dan kapal besar yang kapal kecil jarak waktu pencarian hasil lautnya ada yang satu hari sampai seminggu sedangkan kapal besar jarak waktunya ada yang dari satu bulan sampai tiga bulan sekali.

Nelayan lapak adalah nelayan yang aktivitasnya menjualkan hasil ikan nelayan tangkap terhadap pembeli, aktivitas jual-beli dilakukan di TPI ( Tempat Pelelangan Ikan) Muara Angke. Ikan yang dijual di lapak adalah hasil beli terhadap nelayan tangkap, biasanya nelayan lapak juga melakukan sebagai pengepul sebagai bentuk ikatan jual beli antara nelayan tangkap dan nelayan lapak.

Nelayan pengelola adalah nelayan yang aktivitasnya melakukan pengelolaan hasil laut, pemgelolaan hasil laut biasanya ikan, cumi dan udang. Ada dua acara melakukan pengelolaan asin ada yang kering dan juga ada yang basah. Hasil laut yang di asin basah biasanya ikan-ikan kecil, cumi dan udang sedangkan hasil laut yang di asin kering biasanya ikan-ikan yang berukuran besar.

Fenomena ekonomi yang terjadi bahwa pendapatan masyarakat nelayan Muara Angke mempengaruhi Kehidupannya. Hal itu terjadi karna hasil laut tidak dapat diprediksi pendapatannya terkadang naik dan terkadang turun, bahkan pengeluaran untuk kebutuhan rumah tanggal lebih besar dari pendapatan hasil laut, selain itu juga ada ketidak seimbangan antara pemilik perahu dan tengkulak, Kusnadi dalam bukunya filosofi pemberdayaan pesisir memberikan gambaran umum mengenai hal tersebut, menurutnya adanya relasi sosial ekonomi yang eksploitatif dengan pemilik perahu dan pedagang (perantara) dalam kehidupan masyarakat nelayan (Kusnadi, Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, 2006). Dan yang terjadi di masyarakat nelayan Muara Angke ialah nelayan seperti di manfaatkan oleh tengkulak dengan cara melakukan utang-piutang yang sangat membebani nelayan, Kusnadi juga memberikan solusinya terkait permasalahan ini, ada tiga cara yaitu (1) mengurangi beban utang-piutang yang kompleks para nelayan kepada pemilik perahu dan pedagang ikan (tengkulak), (2) memperbaiki norma sistem bagi hasil dalam organisasi penangkapan, sehingga tidak merugikan nelayan, dan (3) mengoptimalkan peranan lembaga ekonomi lokal, TPI dan lembaga keuangan mikro lainnya, yang dapat membantu pemasaran ikan, stabilitas harga, dam akses modal, sehingga nelayan tidak bergantung mutlak pada tengkulak (Kusnadi, Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, 2060).

C. Perkembangan Tradisi Nadranan

Sejarah Perkembangan Tradisi Nadranan

Tradisi sedekah laut sebelumnya sering disebut sebagai nyadran laut yaitu membuang atau melarung sesaji ke tengah laut.Tradisi nyadran laut dilakukan rutin setiap tahun pada bulan Sura atau bulan pertama perhitungan Jawa (Wadati, 2011). Masyarakat nelayan Muara Angke menyebutnya dengan istilah Nadranan.

Tradisi Nadranan merupakan tradisi sedekah laut, Sedekah dalam pengertian Jawa sebetulnya hampir sama dengan pengertian sedekah melalui bahasa Arab, istilah yang dipakai dalam ungkapan Jawa yakni sedekah, sebagaimana yang telah dikemukakan dari istilah Arab (Shadāqah). Pengertian yang dipahami oleh orang Jawa masih mengacu pada bentuk-bentuk pemberian.Hanya saja dalam konteks sedekah pada beberapa upacara tradisi Jawa, motivasi atau tujuan serta cakupan dari sasaran pemberiannya menjadi berubah atau mengalami transformasi.Motivasi atau tujuan bukan lagi sebagai bentuk bantuan, tetapi lebih cenderung merupakan persembahan.Tujuan pemberian sedekah tidak lagi tertuju kepada orang-orang yang dalam keadaan menderita, kesusahan secara ekonomis, tetapi kepada sesuatu dzat yang dipercaya sebagai penjaga dusun, penjaga sawah, penjaga laut yang tidak kasat mata. Sedekah laut merupakan ungkapan rasa syukur atas rizki hasil laut yang melimpah serta memohon keselamatan bagi nelayan dan pedagang yang beraktivitas di pesisir dari bencana laut (Marfai, 2002)

Walaupun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun Justru karena sifatnya umum, luas dan tidak konkret itu , maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa individu yang menjadi warga dan kebudayaan bersangkutan(Koentjaraningrat, 2015, p. 153). Mengutip dari konsep Koentjaraningrat bahwa dalam kebudayaan Sedekah Laut sudah menjadi budaya bahari yang dilakukan oleh masyarakat pesisir sebagai bentuk rasa syukur kepada tuhan dan juga meminta pertolongan agara dijauhkan dari segalan bencana di laut.Tradisi ini sudah dilakukan turun menurun yang dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Indonesia yang berrtempat tinggal di pesisir, mengingat Indonesia adalah sebuah negara kelautan yang di taburi pulau-pulau sehingga kegiatan kelautan lebih mendominasi. Sedekah laut sebagai budaya sudah menjadi pedoman bagi pelaku, karna budaya sendiri adalah hasil karya manusia yang memiliki nilai yang dianggap berharga dan penting dalam kehidupan.

Tradisi nadranan ini atau lebih umumnya ialah sedekah laut merupakan peninggalan nenek moyang orang Jawa sebagai bentuk terimakasih kepada tuhan.Praktik tersebut adalah salah satu ketaatan orang Jawa kepada tuhan yang telah memberikan rejeki kepada umat manusia, karna orang Jawa mempunyai paham teosofi yaitu sebuah paham cinta terhadap Tuhan.Suwardi Endraswara didalam bukunya yang berjudul agama Jawa mengenai teosofi.Teosofi adalah paham yang dianut oleh agama Jawa.Teos berarti Tuhan dan sofi berarti cinta kebijaksanaan (kesempurnaan). Teosofi Jawa lebih mengedepankan pencarian kesempurnaan hidup(Endraswara, 2015, p. 23). Menurut hemat saya yang dimaksud kesempurnaan hidup adalah taat dan patuh atas perintah Tuhan karna Tuhan mengetahui seluk beluk ciptaanya.

                      Awal kemunculan tradisi nadranan ketika terjadi migrasi orang-orang Indramayu bagian pesisir mencari penghasilan di Muara Angke dengan cara menjadi nelayan, sampai pada akhirnya menetap dan bertempat tinggal di Muara Angke, di tahun 1980an tradisi nadranan ini mulai dilaksanakan oleh para nelayan kapal-kapal kecil tetapi di lakukan secara masing-masing, dalam bentuk sesajennya semampunya sesuai pendapatan hasil dari laut. apabila penghasilan lautnya lagi menyurut makan sesajennya seadanya dan apabila penghasilan lautnya sedang naik makan sesajennya sangat lengkap, kegiatan ini dilakukan setahun sekali di bulan September.

             Tradisi nadranan terus mengalami perkembangan di tahun 1990an yaitu para nelayan kapal kecil memiliki kesadaran untun melakukan tradisi nadranan secara bersama-sama sehingga ritualnya dilakukan sangat memenuhhi syarat nadranan yaitu ada wayang, pembuatan kapal sesajen yang berisi sesajen lengkap.  Di tahun 2000an dan lebih mengalami kemajuan secara kegiatan yaitu di tahun 2010 sampai 2019 yaitu dilaksanakan selama tujuh hari dan banyak yang ikut andil lapisan masyarakat seperti nelayan kapal kecil, nelayan kapal besar,LSM, ormas, dan perusahaan

       Pembentukan Identitas Tradisi Nadranan

        Mobilitas yang dilakukan oleh masyarakat Indramayu ke Muara Angke menyebabkan terjadinya akulturasi terhadap kebudayaan di luar orang-orang Indramyu seperti orang Jawa, orang Makassar, dan orang Bugis, sehingga tradisi nadranan bukan hanya milik orang-orang Indramayu tetapi dimiliki oleh masyarakat Muara Angke sehingga menjadi identitas kebudayaan. Terjadinya pembentukan identitas budaya yang dilakukan oleh masyarakat Indramayu dinamakan sebagai sebuah reproduksi kebudayaan. Menurut Prof .Dr. Irwan Abdullah reproduksi kebudayaan merupakan proses penegasan identitas budaya yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan keberadaan kebudayaan asalnya (Abdullah, 2015, p. 45). Teori tersebut dimuat dalam bukunya yang berjudul kontruksi dan reproduksi kebudayaan, teori itu muncul ketika orang-orang Jawa yang ada di Suriname mempengaruhi kebudayaan pribumi. begitu pula orang-orang Jawa yang ada di berbagai lokasi trasmigrasi atau di Malaysia, di lingkungan-lingkungan sosial budaya yang berbeda dengan kebudayaan Jawa, kebudayaan dalam konteks semacam ini dihadirkan melalui symbol-simbol yang menegaskan kehadiran identitas kelompok (Abdullah, 2015, p. 45). Masyarakat Indramayu adalah masyarakat pendatang yang menetap di Muara Angke. Orang-orang Indramayu datang secara bertahap-tahap membawa identitas kebudayaannya yaitu berupa tradisi sedekah laut atau yang populernya di sebut nadranan, karna budaya tersebut sudah menjadi pedoman didalam kehidupannya. Dalam prosesnya reproduksi budaya yang dilakukan oleh masyarakat tertentu harus mampu beradaptasi terhadap kelompok yang memiliki kebudayaan yang berbeda, dan proses tersebut menurut Prof Irwan Abdullah di sebut sebagai proses reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif yang menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (Abdullah, 2015, p. 41) Proses tersebut  yang terjadi harus mencapai dua tahap proses yaitu proses secara tataran sosial dan tataran individual. Pertama, pada tataran sosial akan terlihat proses dominasi dan subordinasi budaya terjadi secara dinamis yang memungkinkan kita menjelaskan kebudayaan secara mendalam. Kedua, pada tataran individual akan dapat diamati proses resistensi di dalam repdoruksi identitas kultural sekolompok orang di dalam konteks sosial budaya tertentu. Kemunculan masyarakat Indramayu sebagai pendatang yang membawa kebudayaan asalnya harus mempunyai pertahanan secara individu, mereka dengan segala upaya mengekspresikan budayanya ini terbukti sampai hari ini tradisi nadranan tetap ada dan tetap dilaksanakan, dan kekuatan secara sosial pun dapat dikuasi oleh masyarakat Indramayu, sebab secara kelompok keikatannya sangat kuat. Mobilitas yang dilakukan oleh masyarakt Indramayu dapat beradaptasi secara kultural sehingga menghasilkan sebuag nilai dan paktik kebudayaan yang hadir di dalam pelaksanaan tradisi nadranan, proses mobilitas tersebut dan pelaksanaan yang kebudayaan yang dilakukan membuat terbentuknya sebuah identitas secara individual. Penerimaan kebudayaan yang terjadi di sebabkan karna proses pengadaptasiannya memiliki makna dan nilai dalam mengekspresikan kebudayaannya. (Dokumentasi HNSI : April 2010)

Dari reproduksi kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat Indramayu yang membawa kebudayaan asalnya yaitu berupa tradisi nadranan menghasilkan penduduk Muara Angke mayoritas orang-orang Indramayu dan juga membentuk hubungan-hubungan sosial terhadap diluar orang-orang Indramayu seperti Makassar, Bugis, Jawa. Menghasilkan tatanan kehidupan yang baru karna dari orang-orang diluar Indramayu ikut andil dalam mengikuti tradisi nadranan tersebut, dan yang terpenting adalah memberikan makna kebudayaan sehingga menjadi identitas individual terhadap asal-usul dan kulturalnya.

D. Perubahan Nilai dan makna Tradisi Nadranan

    Nilai dan Makna Simbolik

Nilai dan makna simbolik dari sebuah tradisi nadranan terdapat pada sesaji-sesaji seperti pementasan wayang untuk meruwat dan alat-alat, minuman dan makanan. Nilai dan makna tersebut akan menjadi pedoman-pedoman kehudpan bagi masyarakat penghayat ritual.

Sesaji yang digunakan di tradisi Nnadranan yaitu utamanya ialah kepala kerbau dan wayang kalau yang lainnya hanya pendukung saja. Sesaji merupakan bentuk slametan, agar dirinya terbebas dari mara bahaya.(Endraswara, 2015, p. 53). Sesaji menjadi sangat penting dalam setiap upacara ritual masyarakat Jawa, begitu juga bagi masyarakat nelayan Muara Angke mempertahankan sesaji, karna ada yang tidak lengkap apabila sesaji tidak ada pada saat Tradisi Nadranan. Upacara sesaji, Menurut Robertson Smith dianggap sebagai suatu aktivitas untuk menondorong rasa solidaritas dewa atau para dewa(Koentjaraningrat, Ritus Peralihan Di Indonesia, 1993, p. 24). Solidaritas yang dimaksud adalah sebuah perwujudan kebersamaan dengan tuhan karnamanusia membutuhkan Tuhan dan ketika manusia meminta pertolongan maka Tuhan akan membantunya. Menurut Suwardi Endraswari ada tiga fungsi dari makna sesaji yaitu: (1) langkah negosiasi spiritual dengan kekuatan adikrodati, agar tidak menggangu, (2) pemberian berkah kepada warga sekitar, agar ikut merasakan hikmah sesaji, (3) perwujudan keikhlasan diri, berkorban kepada Kang Gawe Urip. Yang terakhir ini, sesaji merupakan bentuk terimakasih(Endraswara, 2015, p. 55).

Tradisi Nadranan adalah sebuah ritual religi karna mempercayai kekuatan gaib dilautan, seperti masyarakat Parang Tritis ada yang beraggapan bahwa pelaksanaan sedekah laut agar nelayan tidak di ganggu oleh Nyai Roro Kidul.Masyarakat nelayan Muara Angke mempercayai bahwa Tradisi Nadranan agar tidak di ganggu oleh penghuni laut.

N. Soderblomm mejelaskan mengenai asal-usul religi, menurutnya bahwa keyakinan yang paling awal yang menyebabkan terjadinya religi dalam masyarakat manuia adalah keyakinanakan adanya kekuatan sakti (mana) dalam hal-hal yang luar biasa dan yang gaib(Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, 2014, p. 78). Didukung oleh pendapatnya Koentjaraningrat mengenai sistem kepercayaan, “menurutnya sistem kepercayaan dalam suatu religi itu mengandung bayangan orang akan wujudnya dunia gaib,….”(Koentjaraningrat, Beberapa pokok Antropologi Sosial, 1992, p. 240). Tradisi Nadranan dapat di katakan sebuah upacara religi, karna masyarakatnya mempercayai hal-hal yang gaib. Tradisi sedekah laut dalam masyarakat nelayan Muara Angke lebih dikenal dengan Nadranan. Adapun sebagai petugas pemimpin upacara adalah seorang pawang atau dukun yang juga bertugas menyampaikan sesaji kepada sang dhanyang laut.

Adapun sesaji yang digunakan dalam tradisi nadranan yaitu :

1.      Wayang

2.      Kepala Kerbau

3.      Tumpengan

4.      Makanan, Minuman dan Kembang Tujuh Rupa

5.      Kelapa Ijo

6.      Bendera Merah Putih

Fungsi Tradisi Nadranan di Era Modern

        Hasil dari sebuah peradaban adalah munculnya kebudayaan, sehingga Semua unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat mempunyai fungsi. Fungsi yang dimaksud adalah fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan pranata-pranata sosial(Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, 2014, p. 167). Dalam perkembangan teorinya yang di mana bahwa fungsi itu untuk kebutuhan naluri manusia terhadap perkembangan budayanya. Buku karangan Maliowski yang berjudul A Scientific Theory Of Culture and Other Essays menjelaskan tentang perkembangan teorinya yang pada intinya segala aktivitas kebudayaan  itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan keseluruhan kehidupannya (Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, 2014, p. 171)

1)      Hiburan dan Pariwisata

Dalam perjalanannya tradisi nadranan ini mengalami perubahan fungsi yaitu sebagai media hiburan dan pariwisata bagi masyarakat, sebab tidak dapat dipungkiri di era modern ini masyarakat tidak terlalu tertarik dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya spiritual, masyarakat modern lebih tertarik terhadap teknologi sehingga para penggiat tradisi nadranan mengupayakan agar supaya tradisi nadranan ini tetap terjaga dan tetap eksis yaitu dengan cara beradaptasi dengan jaman dari dasar pemikiran tersebutlah para penggiat tradisi nadranan menambahkan acara atau pesta rakyat sebelum acara yang sakralnya di mulai yaitu dengan adanya lomba futsal, lomba volley, band, dangdut, dan menanam pohon itu semua dilakukan bertujuan untuk menarik masyarakat pada acara yang intinya meskipun dengan adanya acara hiburan-hiburan tersebut tetap tidak menghilangkan sebuah keskralan pada tradisi nadranan dari upaya tersebutlah tradisi nadranan masih tetap terjaga.

2)      Pendidikan

Warisan budaya leluhur selalu memberikan pendidikan yang sangat berarti untuk generasi berikutnya, fungsi dari tradisi nadranan memberikan pendidikan bagi masyarakat yang mengikutinya baik secara lahiriah dan batiniah karna terdapat nilai dan makna yang terkandung dari tradisi nadranan.Pendidikan untuk selalu bergotong royong dan bekerja sama ini terlihat ketika para nelayan membuat kapal untuk sesajinya, terdapat lomba-lomba yang intinya adalah untuk kebersamaan, pendidikan toleransi terlihat ada sebagaian masyarakat Muara Angke yang tidak menyukai tradisi nadranan tetapi yang menyelenggarakan tidak memaksa untuk mengikutinya saling berdampingan, pendidikan kebersihan terlihat dengan adanya penanaman pohon dan juga tradisi nadranan mengajarkan untuk menjaga laut karna apabila laut kotor dan banyak sampah otomomatis mengganggu ekosistem laut.

3)      Ekonomis

Tradisi Nadranan ini memiliki fungsi secara ekonomis yaitu memberikan pemasukan secara material dari masyarakat setempat ataupun masyarakat yang pendatang dari luar Muara Angke, dengan adanya bazar-bazar para penjual berbondong-bondong datang ke acara tersebut meskipun sama panitia dikenakan pajak tetapi para pedagang tidak keberatan karna tidak memberikan rugi bahkan mendapatkan banyak keuntungan, para pedagang diberikan stand oleh panitia.

E. Peran Pemerintah dan Masyarakat  dalam Melestarikan Tradisi Nadranan

   Peran Pemerintah

Dalam rangka untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya leluhur pemerintah harus berperan aktif karna tradisi nadranan ini sudah menjadi kebudayaan nasional. Peran pemerintah dalam upaya pelestarian agar tradisi nadranan di Muara Angke ini dapat tetap bertahan, pelestarian tradisi nadranan di Muara Angke juga dilakukan oleh pemerintah atau dinas terkait seperti dinas pendidikan dan kebudayaan, Kementerian kelautan dan perikanan serta Unit Pengelola Pelabuhan Perikanan Muara Angke sebab tradisi nadranan di Muara Angke ini tidak akan bisa lestari tanpa ikut campurnya bantuan dan partisipasi dari dinas-dinas terkait, dan memberikan perhatian juga sebagai penentu kebijakan dalam upaya pelestariannya.

Peran Masyarakat

        Selain pemerintah yang ikut andil menjaga dan melestarikan tradisi nadranan di Muara Angke, masyarakat pun mempunyai perana ndil untuk menjaga sekaligus melestarikan tradisi nadranan yang mempunyai banyak manfaat dan nilai bagi masyarakat Muara Angke. Dari segala macam golongan dan lapisan masyarakat harus bahu-membahu, bekerjasama, dan bergotong royong untuk senantiasa menjaga warisan leluhur.

SIMPULAN DAN SARAN

 Kesimpulan

                Tradisi nadranan merupakan sebuah kebudayaan masyarakat Nelayan Muara Angke yang gunanya adalah untuk ucapan syukur kepada Tuhan Yang memiliki laut, karna masyarakat nelayan Muara Angke sumber kehidupannya berasal dari laut. Tradisi nadranan adalah sebuah kebudayaan yang dibawa oleh orang-orang Indramayu yang melakukan migrasi dan tinggal di Muara Angke. Tradisi nadranan ini mengalami perkembangan secara signifikan dari tahun 2010 hingga 2019 mulai dari bentuk sarana dan prasarananya hinga fungsinya

      Masyarakat Muara Angke secara kebudayaan memiliki budaya bahari yang harus tetap di pertahankan seperti menangkap ikan dengan alat-alat yang masih tradisional maupun modern, cara mengenal musim panen untuk ikan, cara pengelolahan ikan, cara pembuatan kapal dan yang paling terpenting adalah sebuah tradisi nadranan. Terdapat kasifikasi nelayan di Muara Angke yaitu nelayan tangkap, nelayan lapak dan nelayan pengelola.

            Perkembangan dalam tradisi nadranan terjadi karena tuntutan zaman dengan kata lain bahwa tradisi nadranan harus dapat beradaptasi agar tradisi tersebut tidak punah sementara tradisi nadranan bagi kalangan penganut kejawen yang berprofesi sebagai nelayan dan tinggal di pesisir sangat lah penting sebab sudah menjadi pedoman hidupnya. Perkembangan itu mulai dari bentuk-bentuk penyajiannya, acara kegiatannya, yang dahulunya di Muara Angke acara nadranan dilakukan secara individu-kelompok-dapat menggabugkan semua kalangan masyarakat, bahkan acaranya yang dahulu hanya ritualnya saja tetapi berubah acaranya menjadi seminggu dengan acara-acara yang sangat mengikuti zamannya tetapi tidak menghilangka sisi ritualnya. Perubahan fungsi pun terjadi yang dahulu sebagai fungsi ritual tetapi berubah memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi hiburan, fungsi ekonomis dan fungsi pendidikan tetapi tidak menghilangkan fungsi ritualnya.

Tradisi nadranan sebagai sebuah kebudayaan dan sebagai sebuah kearifa loka masyarakat Muara Angke harus tetap dijaga dan dilestarikan agar tetap ada seterusnya, itu semua tidak luput harus yang memainkan perannya adalah permerintah dan masyarakat.

 

Saran

       Berdasarkan hasil dari penilitian dan kesimpulan yang disajikan maka sepertinya harus mendapatkan saran-saran yang bermanfaat dari pihak-pihak yang memiliki kapasitas keilmuan, karena penelitian ini memiliki ketidaksempurnaan

DAFTAR PUSTAKA

Baali, F. (2007). Teori-Teori Sosiologi Ibnu Khaldun. Bangka Belitung: Shiddiq Press.

Bernard, R. (2007). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Dahuri, R. d. (2001). Plengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.

Daliman, A. (2012). Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Endaswara, S. (2018). Mistik Kejawen ( Sinkritisme, Simbolisme, dan sufisme dalam budaya Spritual Jawa). Yogyakarta: Narasi.

Endraswara, S. (2015). Agama Jawa : Ajaran, Amalan dan Asal-Usul Kejawen. Yogyakarta: Narasi-Lembu Jawa.

Engels, F. (2007). On Marx Capital.

Gottschalk, L. (2006). Mengerti Sejarah. Depok: UI Press.

Kholdun, I. (2001). Mukaddimah. Jakarta: Oustaka Al-Kautsar.

Kholdun, I. (2001). Muqaddimah (3 ed.). (M. N. Ridwan, Ed., M. Irham, M. Supar, & A. Zuhri, Trans.) Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Koentjaraningrat. (1992). Beberapa pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Koentjaraningrat. (1993). Ritus Peralihan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Koentjaraningrat. (2014). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia.

Koentjaraningrat. (2015). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kusnadi. (2006). Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Bandung: Humaniora.

Kusnadi. (2007). Keberdayaan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Madjid, D., & Wahyudhi, J. (2014). Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar. Jakarta: Prenadamedia Group.

Maiwan, M. (2013). Kosmologi Sejarah Dalam Filsafat SejaraH: aliran, teori, Dan Perkembangan. Literasi, 3, 168.

Marfai, M. A. (2002). Pengantar Lingkungan dan Kearifan Lokal. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Moeis, S. (2008). Struktur Sosial. Bahan Ajar, 6.

Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2017). Teori Sosiologi : dari sosiologi klasik sampai perkembangan mutakhir teori sosial postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.

Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2017). Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. (I. R. Muzir, Ed.) Bantul: Kreasi Wacana.

Setiawan, Eko;. (2016). Eksistensi Budaya Bahari Tradisi Petik Laut Di Muncar Banyuwangi. Universum, 230.

Sjamsudin, H. (2016). Metodelogi Sejarah. Jakarta: Ombak.

Sjamsudin, H. (2016). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Soekanto, S. (2012). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Suroyo, A. D. (2007). Sejarah Maritim Indonesia I (Menulusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad ke-17). Semarang: Jeda.

Suryanegara, A. M. (2015). Api Sejarah Jidil kesatu. Bandung: Surya Dinasti.

Sutiyono. (1998). Tumpengan dan Gunung : Makna Simboliknya Dalam Kebudayaan Mayrakat Jawa. Cakrawala Pendidikan, 1, 62.

Toynbee, A. J. (2015). Sejarah jejak peradaban manusia dari 500 SM-abad XX (A Study Of History). (Rizal, Ed., & I. M. Zaki, Trans.) Bandung: Nusa Media.

Turner, B. S. (2012). Teori Sosial dari klasik samapi postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yatim, B. (2017). Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). Jakarta: Rajawali Pers.