Penulisan sejarah (historiografi)
menjadi sarana mengkomuikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap. Diuji
(verifikasi) dan interpretasikan (Daliman,
2012, p. 99).
Historiografi atau penulisan sejarah merupakan tahapan terakhir dari seluruh
rangkaian dari metode historis. Dalam penulisan sejarah, aspek kronologi
sangat penting (Kuntowijoyo, 2013, p. 80). Artiannya
dalam penulisan sejarah harus terdapat tahun agar dapat terlihat
perubahan-perubahan yang terjadi bahkan dapat mendeteksi pertistiwa penting
yang terjadi, maka dari itu peneliti dalam penulisan sejarahnya meakai angka
tahun. Hasil temuan dilapangan kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan
sejarah dengan judul Perkembangan Tradisi Nadranan Masyarakat Nelayan
Muara Angke Jakarta Utara tahun 2010 - 2019.
PEMBAHASAN
A. GAMBARAN
UMUM
Kondisi
Geografi
Muara Angke
merupakan Wilayah pesisir yang terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi
DKI Jakarta dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Kawasan Muara Angke
termasuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan
Kota Jakarta Utara. Daerah perikanan Muara Angke memiliki luas wilayah 77.9
ha. Batas-batas Kawasan Muara Angke adalah Sebelah barat berbatasan dengan
Kali Angke Sebelah timur berbatasan dengan Jalan Pluit Barat Sebelah selatan
berbatasan dengan Kali Angke Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa Kawasan
Muara Angke secara geografis terletak pada LS sampai LS dan BT sampai BT
dengan tinggi rata-rata 0m di atas permukaan air laut. Kawasan Delta Muara
Angke diapit oleh 2 anak sungai, yaitu Kali Angke di sebelah timur dan Kali
Adem di sebelah barat.Kampung Nelayan Muara Angke yang dikenal sebagai
lokasi pelelangan dan pelabuhan ikan.
Kondisi
Demografi
Tahun
|
Laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
2013
|
24.200
|
24.655
|
48.855
|
2014
|
24.565
|
24.951
|
49.516
|
2015
|
24.443
|
24.822
|
49.265
|
2016
|
25.610
|
26.343
|
51.953
|
2017
|
25.761
|
26.553
|
52.314
|
2018
|
27.096
|
27.893
|
54.989
|
2019
|
27.786
|
28.698
|
56.484
|
Tabel.1
Kependudukan Kelurahan Pluit
(Sumber : Suku Dinas Kependudukan
dan pecatatan Sipil Jakarta Utara)
Muara Angke mayoritas agamanya
adalah Islam dan Muara Angke berada diwilayah kelurahan Pluit berdasarkan data
kependudukan dari Suku Dinas Kependudukan dan pecatatan Sipil Jakarta Utara
mengalami pningkatan atau penambahan penduduk hingga hasil dari 2019 sampai
56.484 jiwa itu disebabkan karna banyaknya pendatang yang ingin mencari kerja
dan menikah dengan masyarakat setempat hingga bertempat tinggal. Kelurahan
pluit menjadi tujuan bagi para pendatang untuk mencari kerja dikarekan
wilayahnya terdapat pabrik-pabrik, perusahaan, pasar modern atau mall yang
menjadi pusat bagi para nelayan dari luar ialah pelabuhan perikanan Muara
Angke.
Asal-usul Nama Muara Angke
Muara
Angke adalah wilayah hilir dan kuala dari Kali Angke. Sedangkan kali atau
sungai ini diperkirakan dinamai menurut nama seorang panglima perang Kerajaan
Banten, yakni Tubagus Angke (Tubagus atau Ratu Bagus adalah gelar
kebangsawanan kerajaan Banten). Sekitar awal abad ke-16, Kerajaan Banten
mengirim pasukannya untuk membantu Kerajaan Demak yang sedang menggempur
benteng Portugis di Sunda Kelapa (Jakarta sekarang). Sungai di mana pasukan
Tubagus Angke bermarkas kemudian dikenal sebagai Kali Angke dan daerah yang
terletak di ujung sungai ini disebut Muara Angke. Pendapat yang lain
dikemukakan oleh Alwi Shahab, salah seorang penulis dan budayawan Betawi.
Menurutnya, kata "angke" berasal dari bahasa Hokkian, yakni
"ang" yang berarti merah dan "ke" yang berarti sungai atau
kali. Hal ini terkait dengan kejadian tahun 1740, saat Belanda membantai 10.000
orang Tionghoa di Glodok, yang membuat warna air Kali Angke yang semula jernih
menjadi merah bercampur darah. Namun, menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi,
kata "angke" berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta,
"anke", yang berarti kali yang dalam.
Masyarakat Muara Angke secara
mayoritas suku adalah orang-orng Indramayu bagia pesisir dan beragama Islam
sehingga secara dialeg atau gaya bahasa mempunyai logat Indramayu walaupun
berbicara dengan bahasa Indonesia. Muara Angke sebagai wilayah yang terletak
di pesisir laut memiliki kebudayaan atau kebiasaan orang-orang pesisir.
Kebudayaan ini berasal dari Masyarakat Muara Angke. Menurut Koentjraningrat
ada tiga wujud kebudayaan yaitu (1) Ide dan gagasan, (2) Aktivitas, dan (3)
Hasil karya manusia.(Koentjaraningrat,
2015, p. 150).
Gambaran segala bentuk aktivitas masyarakat nelayan Muara Angke. Dalam ruang
lingkup budaya bahari, masyarakat nelayan Muara Angke memiliki pengetahuan
menentukan kapan waktu yang tepat untuk mencari ikan seperti melihat
pergerakan bintang, melihat penerangan bulan, melihat warna air laut,
menentukan posisi karang, bertelurnya ikan, hasil ikan-ikan yang memiliki niai
ekonomis. Aktivitas nya dapat dilihat dari keuletannya untuk bertahan hidup
seperti mengarungi lautan, tinggal di perahu, pembuatan ikan asin, jual-beli
ikan di lapak. Artefak dapat dilihat dati peninggalannya yaitu seperti perahu,
alat pancingnya, alat-alat produksi ikan Asin. Budaya bahari di Muara Angke
memiliki banyak perubahan dari tradisional hingga ke modern,
Masyarakat nelayan merupakan
kelompok masyarakat yang pekerjaannya melaut untuk menangkap ikan (Kusnadi, Filosofi Pemberdayaan Masyarakat
Pesisir, 2006).
Di Muara Angke nelayan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu nelayan
tangkap, nelayan lapak dan nelayan pengelola.
Nelayan tangkap adalah nelayan yang
aktivitasnya khusus menangkap hasil laut, bahkan nelayan juga terdapat
beberapa jenis dalam hal mata pencahariannya seperti nelayan rajung, nelayan
kerang ijo, nelayan ikan, nelayan cumi. Alat transportasi yang digunakan nelayan yang menggunakan kapal kecil
(tradisional) dan kapal besar yang kapal kecil jarak waktu pencarian hasil
lautnya ada yang satu hari sampai seminggu sedangkan kapal besar jarak
waktunya ada yang dari satu bulan sampai tiga bulan sekali.
Nelayan lapak adalah nelayan yang
aktivitasnya menjualkan hasil ikan nelayan tangkap terhadap pembeli, aktivitas
jual-beli dilakukan di TPI ( Tempat Pelelangan Ikan) Muara Angke. Ikan yang
dijual di lapak adalah hasil beli terhadap nelayan tangkap, biasanya nelayan
lapak juga melakukan sebagai pengepul sebagai bentuk ikatan jual beli antara
nelayan tangkap dan nelayan lapak.
Nelayan pengelola adalah nelayan
yang aktivitasnya melakukan pengelolaan hasil laut, pemgelolaan hasil laut
biasanya ikan, cumi dan udang. Ada dua acara melakukan pengelolaan asin ada
yang kering dan juga ada yang basah. Hasil laut yang di asin basah biasanya
ikan-ikan kecil, cumi dan udang sedangkan hasil laut yang di asin kering
biasanya ikan-ikan yang berukuran besar.
Fenomena ekonomi yang terjadi bahwa
pendapatan masyarakat nelayan Muara Angke mempengaruhi Kehidupannya. Hal itu
terjadi karna hasil laut tidak dapat diprediksi pendapatannya terkadang naik
dan terkadang turun, bahkan pengeluaran untuk kebutuhan rumah tanggal lebih
besar dari pendapatan hasil laut, selain itu juga ada ketidak seimbangan
antara pemilik perahu dan tengkulak, Kusnadi dalam bukunya filosofi
pemberdayaan pesisir memberikan gambaran umum mengenai hal tersebut,
menurutnya adanya relasi sosial ekonomi yang eksploitatif dengan pemilik
perahu dan pedagang (perantara) dalam kehidupan masyarakat nelayan (Kusnadi, Filosofi Pemberdayaan Masyarakat
Pesisir, 2006).
Dan yang terjadi di masyarakat nelayan Muara Angke ialah nelayan seperti di
manfaatkan oleh tengkulak dengan cara melakukan utang-piutang yang sangat
membebani nelayan, Kusnadi juga memberikan solusinya terkait permasalahan ini,
ada tiga cara yaitu (1) mengurangi beban utang-piutang yang kompleks para
nelayan kepada pemilik perahu dan pedagang ikan (tengkulak), (2) memperbaiki
norma sistem bagi hasil dalam organisasi penangkapan, sehingga tidak merugikan
nelayan, dan (3) mengoptimalkan peranan lembaga ekonomi lokal, TPI dan lembaga
keuangan mikro lainnya, yang dapat membantu pemasaran ikan, stabilitas harga,
dam akses modal, sehingga nelayan tidak bergantung mutlak pada tengkulak (Kusnadi, Filosofi Pemberdayaan Masyarakat
Pesisir, 2060).
C. Perkembangan Tradisi Nadranan
Tradisi sedekah laut sebelumnya
sering disebut sebagai nyadran laut yaitu membuang atau melarung sesaji ke
tengah laut.Tradisi nyadran laut dilakukan rutin setiap tahun pada bulan Sura
atau bulan pertama perhitungan Jawa (Wadati, 2011). Masyarakat nelayan
Muara Angke menyebutnya dengan istilah Nadranan.
Tradisi Nadranan merupakan tradisi
sedekah laut, Sedekah dalam pengertian Jawa sebetulnya hampir sama dengan
pengertian sedekah melalui bahasa Arab, istilah yang dipakai dalam ungkapan
Jawa yakni sedekah, sebagaimana yang telah dikemukakan dari istilah Arab
(Shadāqah). Pengertian yang dipahami oleh orang Jawa masih mengacu pada
bentuk-bentuk pemberian.Hanya saja dalam konteks sedekah pada beberapa upacara
tradisi Jawa, motivasi atau tujuan serta cakupan dari sasaran pemberiannya
menjadi berubah atau mengalami transformasi.Motivasi atau tujuan bukan lagi
sebagai bentuk bantuan, tetapi lebih cenderung merupakan persembahan.Tujuan
pemberian sedekah tidak lagi tertuju kepada orang-orang yang dalam keadaan
menderita, kesusahan secara ekonomis, tetapi kepada sesuatu dzat yang
dipercaya sebagai penjaga dusun, penjaga sawah, penjaga laut yang tidak kasat
mata. Sedekah laut merupakan ungkapan rasa syukur atas rizki hasil laut yang
melimpah serta memohon keselamatan bagi nelayan dan pedagang yang beraktivitas
di pesisir dari bencana laut (Marfai, 2002)
Walaupun nilai budaya berfungsi
sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu
nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat
luas dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun Justru
karena sifatnya umum, luas dan tidak konkret itu , maka nilai-nilai budaya
dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa individu
yang menjadi warga dan kebudayaan bersangkutan(Koentjaraningrat,
2015, p. 153).
Mengutip dari konsep Koentjaraningrat bahwa dalam kebudayaan Sedekah Laut
sudah menjadi budaya bahari yang dilakukan oleh masyarakat pesisir sebagai bentuk
rasa syukur kepada tuhan dan juga meminta pertolongan agara dijauhkan dari
segalan bencana di laut.Tradisi ini sudah dilakukan turun menurun yang
dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Indonesia yang berrtempat tinggal di
pesisir, mengingat Indonesia adalah sebuah negara kelautan yang di taburi
pulau-pulau sehingga kegiatan kelautan lebih mendominasi. Sedekah laut sebagai
budaya sudah menjadi pedoman bagi pelaku, karna budaya sendiri adalah hasil
karya manusia yang memiliki nilai yang dianggap berharga dan penting dalam
kehidupan.
Tradisi nadranan ini atau lebih
umumnya ialah sedekah laut merupakan peninggalan nenek moyang orang Jawa
sebagai bentuk terimakasih kepada tuhan.Praktik tersebut adalah salah satu
ketaatan orang Jawa kepada tuhan yang telah memberikan rejeki kepada umat
manusia, karna orang Jawa mempunyai paham teosofi yaitu sebuah paham cinta
terhadap Tuhan.Suwardi Endraswara didalam bukunya yang berjudul agama Jawa
mengenai teosofi.Teosofi adalah paham yang dianut oleh agama Jawa.Teos berarti
Tuhan dan sofi berarti cinta kebijaksanaan (kesempurnaan). Teosofi Jawa lebih
mengedepankan pencarian kesempurnaan hidup(Endraswara, 2015, p.
23).
Menurut hemat saya yang dimaksud kesempurnaan hidup adalah taat dan patuh atas
perintah Tuhan karna Tuhan mengetahui seluk beluk ciptaanya.
Awal
kemunculan tradisi nadranan ketika terjadi migrasi orang-orang Indramayu
bagian pesisir mencari penghasilan di Muara Angke dengan cara menjadi nelayan,
sampai pada akhirnya menetap dan bertempat tinggal di Muara Angke, di tahun
1980an tradisi nadranan ini mulai dilaksanakan oleh para nelayan kapal-kapal
kecil tetapi di lakukan secara masing-masing, dalam bentuk sesajennya
semampunya sesuai pendapatan hasil dari laut. apabila penghasilan lautnya lagi
menyurut makan sesajennya seadanya dan apabila penghasilan lautnya sedang naik
makan sesajennya sangat lengkap, kegiatan ini dilakukan setahun sekali di
bulan September.
Tradisi
nadranan terus mengalami perkembangan di tahun 1990an yaitu para nelayan kapal
kecil memiliki kesadaran untun melakukan tradisi nadranan secara bersama-sama
sehingga ritualnya dilakukan sangat memenuhhi syarat nadranan yaitu ada
wayang, pembuatan kapal sesajen yang berisi sesajen lengkap. Di
tahun 2000an dan lebih mengalami kemajuan secara kegiatan yaitu di tahun 2010
sampai 2019 yaitu dilaksanakan selama tujuh hari dan banyak yang ikut andil
lapisan masyarakat seperti nelayan kapal kecil, nelayan kapal besar,LSM,
ormas, dan perusahaan
Pembentukan Identitas Tradisi
Nadranan
Mobilitas
yang dilakukan oleh masyarakat Indramayu ke Muara Angke menyebabkan terjadinya
akulturasi terhadap kebudayaan di luar orang-orang Indramyu seperti orang
Jawa, orang Makassar, dan orang Bugis, sehingga tradisi nadranan bukan hanya
milik orang-orang Indramayu tetapi dimiliki oleh masyarakat Muara Angke
sehingga menjadi identitas kebudayaan. Terjadinya pembentukan identitas budaya
yang dilakukan oleh masyarakat Indramayu dinamakan sebagai sebuah reproduksi kebudayaan. Menurut Prof .Dr. Irwan Abdullah reproduksi kebudayaan merupakan proses
penegasan identitas budaya yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini
menegaskan keberadaan kebudayaan asalnya (Abdullah,
2015, p. 45).
Teori tersebut dimuat dalam bukunya yang berjudul kontruksi dan reproduksi
kebudayaan, teori itu muncul ketika orang-orang Jawa yang ada di Suriname
mempengaruhi kebudayaan pribumi. begitu pula orang-orang Jawa yang ada di
berbagai lokasi trasmigrasi atau di Malaysia, di lingkungan-lingkungan sosial
budaya yang berbeda dengan kebudayaan Jawa, kebudayaan dalam konteks semacam
ini dihadirkan melalui symbol-simbol yang menegaskan kehadiran identitas
kelompok (Abdullah,
2015, p. 45).
Masyarakat Indramayu adalah masyarakat pendatang yang menetap di Muara Angke.
Orang-orang Indramayu datang secara bertahap-tahap membawa identitas
kebudayaannya yaitu berupa tradisi sedekah laut atau yang populernya di sebut
nadranan, karna budaya tersebut sudah menjadi pedoman didalam kehidupannya.
Dalam prosesnya reproduksi budaya yang dilakukan oleh masyarakat tertentu
harus mampu beradaptasi terhadap kelompok yang memiliki kebudayaan yang
berbeda, dan proses tersebut menurut Prof Irwan Abdullah di sebut sebagai
proses reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif yang menegaskan
keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi
bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (Abdullah,
2015, p. 41)
Proses tersebut yang terjadi harus
mencapai dua tahap proses yaitu proses secara tataran sosial dan tataran
individual. Pertama, pada tataran sosial akan terlihat proses dominasi dan
subordinasi budaya terjadi secara dinamis yang memungkinkan kita menjelaskan
kebudayaan secara mendalam. Kedua, pada tataran individual akan dapat diamati
proses resistensi di dalam repdoruksi identitas kultural sekolompok orang di
dalam konteks sosial budaya tertentu. Kemunculan masyarakat Indramayu sebagai
pendatang yang membawa kebudayaan asalnya harus mempunyai pertahanan secara
individu, mereka dengan segala upaya mengekspresikan budayanya ini terbukti
sampai hari ini tradisi nadranan tetap ada dan tetap dilaksanakan, dan
kekuatan secara sosial pun dapat dikuasi oleh masyarakat Indramayu, sebab
secara kelompok keikatannya sangat kuat. Mobilitas yang dilakukan oleh
masyarakt Indramayu dapat beradaptasi secara kultural sehingga menghasilkan
sebuag nilai dan paktik kebudayaan yang hadir di dalam pelaksanaan tradisi
nadranan, proses mobilitas tersebut dan pelaksanaan yang kebudayaan yang
dilakukan membuat terbentuknya sebuah identitas secara individual. Penerimaan
kebudayaan yang terjadi di sebabkan karna proses pengadaptasiannya memiliki makna
dan nilai dalam mengekspresikan kebudayaannya. (Dokumentasi HNSI : April 2010)
Dari reproduksi kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat
Indramayu yang membawa kebudayaan asalnya yaitu berupa tradisi nadranan
menghasilkan penduduk Muara Angke mayoritas orang-orang Indramayu dan juga
membentuk hubungan-hubungan sosial terhadap diluar orang-orang Indramayu
seperti Makassar, Bugis, Jawa. Menghasilkan tatanan kehidupan yang baru karna
dari orang-orang diluar Indramayu ikut andil dalam mengikuti tradisi nadranan
tersebut, dan yang terpenting adalah memberikan makna kebudayaan sehingga
menjadi identitas individual terhadap asal-usul dan kulturalnya.
D. Perubahan Nilai dan makna Tradisi Nadranan
Nilai dan makna simbolik dari sebuah
tradisi nadranan terdapat pada sesaji-sesaji seperti pementasan wayang untuk
meruwat dan alat-alat, minuman dan makanan. Nilai dan makna tersebut akan
menjadi pedoman-pedoman kehudpan bagi masyarakat penghayat ritual.
Sesaji yang digunakan di tradisi
Nnadranan yaitu utamanya ialah kepala kerbau dan wayang kalau yang lainnya
hanya pendukung saja. Sesaji merupakan bentuk slametan, agar dirinya terbebas
dari mara bahaya.(Endraswara, 2015, p.
53).
Sesaji menjadi sangat penting dalam setiap upacara ritual masyarakat Jawa,
begitu juga bagi masyarakat nelayan Muara Angke mempertahankan sesaji, karna
ada yang tidak lengkap apabila sesaji tidak ada pada saat Tradisi Nadranan.
Upacara sesaji, Menurut Robertson Smith dianggap sebagai suatu aktivitas untuk
menondorong rasa solidaritas dewa atau para dewa(Koentjaraningrat,
Ritus Peralihan Di Indonesia, 1993, p. 24). Solidaritas yang
dimaksud adalah sebuah perwujudan kebersamaan dengan tuhan karnamanusia
membutuhkan Tuhan dan ketika manusia meminta pertolongan maka Tuhan akan
membantunya. Menurut Suwardi Endraswari ada tiga fungsi dari makna sesaji
yaitu: (1) langkah negosiasi spiritual dengan kekuatan adikrodati, agar tidak
menggangu, (2) pemberian berkah kepada warga sekitar, agar ikut merasakan
hikmah sesaji, (3) perwujudan keikhlasan diri, berkorban kepada Kang Gawe
Urip. Yang terakhir ini, sesaji merupakan bentuk terimakasih(Endraswara,
2015, p. 55).
Tradisi Nadranan adalah sebuah
ritual religi karna mempercayai kekuatan gaib dilautan, seperti masyarakat
Parang Tritis ada yang beraggapan bahwa pelaksanaan sedekah laut agar nelayan
tidak di ganggu oleh Nyai Roro Kidul.Masyarakat nelayan Muara Angke
mempercayai bahwa Tradisi Nadranan agar tidak di ganggu oleh penghuni laut.
N. Soderblomm mejelaskan mengenai
asal-usul religi, menurutnya bahwa keyakinan yang paling awal yang menyebabkan
terjadinya religi dalam masyarakat manuia adalah keyakinanakan adanya kekuatan
sakti (mana) dalam hal-hal yang luar biasa dan yang gaib(Koentjaraningrat,
Sejarah Teori Antropologi I, 2014, p. 78). Didukung oleh
pendapatnya Koentjaraningrat mengenai sistem kepercayaan, “menurutnya sistem
kepercayaan dalam suatu religi itu mengandung bayangan orang akan wujudnya
dunia gaib,….”(Koentjaraningrat,
Beberapa pokok Antropologi Sosial, 1992, p. 240). Tradisi Nadranan
dapat di katakan sebuah upacara religi, karna masyarakatnya mempercayai
hal-hal yang gaib. Tradisi sedekah laut dalam masyarakat nelayan Muara Angke
lebih dikenal dengan Nadranan. Adapun sebagai petugas pemimpin upacara adalah
seorang pawang atau dukun yang juga bertugas menyampaikan sesaji kepada sang
dhanyang laut.
Adapun sesaji yang digunakan dalam
tradisi nadranan yaitu :
1. Wayang
2.
Kepala Kerbau
3.
Tumpengan
4.
Makanan,
Minuman dan Kembang Tujuh Rupa
5.
Kelapa Ijo
6.
Bendera Merah
Putih
Fungsi Tradisi Nadranan
di Era Modern
Hasil
dari sebuah peradaban adalah munculnya kebudayaan, sehingga Semua unsur
kebudayaan yang ada dalam masyarakat mempunyai fungsi. Fungsi yang dimaksud
adalah fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan pranata-pranata
sosial(Koentjaraningrat, Sejarah Teori
Antropologi I, 2014, p. 167). Dalam perkembangan teorinya yang di
mana bahwa fungsi itu untuk kebutuhan naluri manusia terhadap perkembangan
budayanya. Buku karangan Maliowski yang berjudul A Scientific Theory Of
Culture and Other Essays menjelaskan tentang perkembangan teorinya yang
pada intinya segala aktivitas kebudayaan
itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah
kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan keseluruhan
kehidupannya (Koentjaraningrat,
Sejarah Teori Antropologi I, 2014, p. 171)
1)
Hiburan
dan Pariwisata
Dalam perjalanannya tradisi nadranan
ini mengalami perubahan fungsi yaitu sebagai media hiburan dan pariwisata bagi
masyarakat, sebab tidak dapat dipungkiri di era modern ini masyarakat tidak
terlalu tertarik dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya spiritual, masyarakat
modern lebih tertarik terhadap teknologi sehingga para penggiat tradisi
nadranan mengupayakan agar supaya tradisi nadranan ini tetap terjaga dan tetap
eksis yaitu dengan cara beradaptasi dengan jaman dari dasar pemikiran
tersebutlah para penggiat tradisi nadranan menambahkan acara atau pesta rakyat
sebelum acara yang sakralnya di mulai yaitu dengan adanya lomba futsal, lomba
volley, band, dangdut, dan menanam pohon itu semua dilakukan bertujuan untuk
menarik masyarakat pada acara yang intinya meskipun dengan adanya acara hiburan-hiburan
tersebut tetap tidak menghilangkan sebuah keskralan pada tradisi nadranan dari
upaya tersebutlah tradisi nadranan masih tetap terjaga.
2)
Pendidikan
Warisan budaya leluhur selalu
memberikan pendidikan yang sangat berarti untuk generasi berikutnya, fungsi
dari tradisi nadranan memberikan pendidikan bagi masyarakat yang mengikutinya
baik secara lahiriah dan batiniah karna terdapat nilai dan makna yang
terkandung dari tradisi nadranan.Pendidikan untuk selalu bergotong royong dan
bekerja sama ini terlihat ketika para nelayan membuat kapal untuk sesajinya,
terdapat lomba-lomba yang intinya adalah untuk kebersamaan, pendidikan
toleransi terlihat ada sebagaian masyarakat Muara Angke yang tidak menyukai
tradisi nadranan tetapi yang menyelenggarakan tidak memaksa untuk mengikutinya
saling berdampingan, pendidikan kebersihan terlihat dengan adanya penanaman
pohon dan juga tradisi nadranan mengajarkan untuk menjaga laut karna apabila
laut kotor dan banyak sampah otomomatis mengganggu ekosistem laut.
3)
Ekonomis
Tradisi Nadranan ini memiliki fungsi
secara ekonomis yaitu memberikan pemasukan secara material dari masyarakat
setempat ataupun masyarakat yang pendatang dari luar Muara Angke, dengan
adanya bazar-bazar para penjual berbondong-bondong datang ke acara tersebut meskipun
sama panitia dikenakan pajak tetapi para pedagang tidak keberatan karna tidak
memberikan rugi bahkan mendapatkan banyak keuntungan, para pedagang diberikan
stand oleh panitia.
E. Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Melestarikan Tradisi Nadranan
Dalam rangka untuk menjaga dan
melestarikan warisan budaya leluhur pemerintah harus berperan aktif karna
tradisi nadranan ini sudah menjadi kebudayaan nasional. Peran pemerintah dalam
upaya pelestarian agar tradisi nadranan di Muara Angke ini dapat tetap
bertahan, pelestarian tradisi nadranan di Muara Angke juga dilakukan oleh
pemerintah atau dinas terkait seperti dinas pendidikan dan kebudayaan,
Kementerian kelautan dan perikanan serta Unit Pengelola Pelabuhan Perikanan
Muara Angke sebab tradisi nadranan di Muara Angke ini tidak akan bisa lestari
tanpa ikut campurnya bantuan dan partisipasi dari dinas-dinas terkait, dan
memberikan perhatian juga sebagai penentu kebijakan dalam upaya
pelestariannya.
Peran
Masyarakat
Selain
pemerintah yang ikut andil menjaga dan melestarikan tradisi nadranan di Muara
Angke, masyarakat pun mempunyai perana ndil untuk menjaga sekaligus
melestarikan tradisi nadranan yang mempunyai banyak manfaat dan nilai bagi
masyarakat Muara Angke. Dari segala macam golongan dan lapisan masyarakat
harus bahu-membahu, bekerjasama, dan bergotong royong untuk senantiasa menjaga
warisan leluhur.
Kesimpulan
Tradisi nadranan merupakan sebuah
kebudayaan masyarakat Nelayan Muara Angke yang gunanya adalah untuk ucapan
syukur kepada Tuhan Yang memiliki laut, karna masyarakat nelayan Muara Angke
sumber kehidupannya berasal dari laut. Tradisi nadranan adalah sebuah
kebudayaan yang dibawa oleh orang-orang Indramayu yang melakukan migrasi dan
tinggal di Muara Angke. Tradisi nadranan ini mengalami perkembangan secara
signifikan dari tahun 2010 hingga 2019 mulai dari bentuk sarana dan
prasarananya hinga fungsinya
Masyarakat Muara Angke secara kebudayaan
memiliki budaya bahari yang harus tetap di pertahankan seperti menangkap ikan
dengan alat-alat yang masih tradisional maupun modern, cara mengenal musim
panen untuk ikan, cara pengelolahan ikan, cara pembuatan kapal dan yang paling
terpenting adalah sebuah tradisi nadranan. Terdapat kasifikasi nelayan di
Muara Angke yaitu nelayan tangkap, nelayan lapak dan nelayan pengelola.
Perkembangan dalam tradisi nadranan terjadi karena tuntutan zaman
dengan kata lain bahwa tradisi nadranan harus dapat beradaptasi agar tradisi
tersebut tidak punah sementara tradisi nadranan bagi kalangan penganut kejawen
yang berprofesi sebagai nelayan dan tinggal di pesisir sangat lah penting
sebab sudah menjadi pedoman hidupnya. Perkembangan itu mulai dari
bentuk-bentuk penyajiannya, acara kegiatannya, yang dahulunya di Muara Angke
acara nadranan dilakukan secara individu-kelompok-dapat menggabugkan semua
kalangan masyarakat, bahkan acaranya yang dahulu hanya ritualnya saja tetapi berubah
acaranya menjadi seminggu dengan acara-acara yang sangat mengikuti zamannya
tetapi tidak menghilangka sisi ritualnya. Perubahan fungsi pun terjadi yang
dahulu sebagai fungsi ritual tetapi berubah memiliki beberapa fungsi yaitu
fungsi hiburan, fungsi ekonomis dan fungsi pendidikan tetapi tidak
menghilangkan fungsi ritualnya.
Tradisi nadranan sebagai
sebuah kebudayaan dan sebagai sebuah kearifa loka masyarakat Muara Angke harus
tetap dijaga dan dilestarikan agar tetap ada seterusnya, itu semua tidak luput
harus yang memainkan perannya adalah permerintah dan masyarakat.
Berdasarkan
hasil dari penilitian dan kesimpulan yang disajikan maka sepertinya harus
mendapatkan saran-saran yang bermanfaat dari pihak-pihak yang memiliki
kapasitas keilmuan, karena penelitian ini memiliki ketidaksempurnaan
DAFTAR PUSTAKA
Baali, F. (2007). Teori-Teori Sosiologi Ibnu Khaldun.
Bangka Belitung: Shiddiq Press.
Bernard, R. (2007). Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Prestasi Pustaka.
Dahuri, R. d. (2001). Plengelolaan Sumber Daya Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.
Daliman, A. (2012). Metode Penelitian Sejarah.
Yogyakarta: Ombak.
Endaswara, S. (2018). Mistik Kejawen ( Sinkritisme,
Simbolisme, dan sufisme dalam budaya Spritual Jawa). Yogyakarta: Narasi.
Endraswara, S. (2015). Agama Jawa : Ajaran, Amalan dan
Asal-Usul Kejawen. Yogyakarta: Narasi-Lembu Jawa.
Engels, F. (2007). On Marx Capital.
Gottschalk, L. (2006). Mengerti Sejarah. Depok: UI
Press.
Kholdun, I. (2001). Mukaddimah. Jakarta: Oustaka
Al-Kautsar.
Kholdun, I. (2001). Muqaddimah (3 ed.). (M. N.
Ridwan, Ed., M. Irham, M. Supar, & A. Zuhri, Trans.) Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Koentjaraningrat. (1992). Beberapa pokok Antropologi
Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Koentjaraningrat. (1993). Ritus Peralihan Di Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. (2014). Sejarah Teori Antropologi I.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Koentjaraningrat. (2015). Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu Sejarah.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kusnadi. (2006). Filosofi Pemberdayaan Masyarakat
Pesisir. Bandung: Humaniora.
Kusnadi. (2007). Keberdayaan dan Dinamika Ekonomi
Pesisir. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Madjid, D., & Wahyudhi, J. (2014). Ilmu Sejarah
Sebuah Pengantar. Jakarta: Prenadamedia Group.
Maiwan, M. (2013). Kosmologi Sejarah Dalam Filsafat
SejaraH: aliran, teori, Dan Perkembangan. Literasi, 3, 168.
Marfai, M. A. (2002). Pengantar Lingkungan dan Kearifan
Lokal. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Moeis, S. (2008). Struktur Sosial. Bahan Ajar, 6.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2017). Teori
Sosiologi : dari sosiologi klasik sampai perkembangan mutakhir teori sosial
postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2017). Teori
Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori
Sosial Postmodern. (I. R. Muzir, Ed.) Bantul: Kreasi Wacana.
Setiawan, Eko;. (2016). Eksistensi Budaya Bahari Tradisi
Petik Laut Di Muncar Banyuwangi. Universum, 230.
Sjamsudin, H. (2016). Metodelogi Sejarah. Jakarta:
Ombak.
Sjamsudin, H. (2016). Metodologi Sejarah.
Yogyakarta: Ombak.
Soekanto, S. (2012). Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Suroyo, A. D. (2007). Sejarah Maritim Indonesia I
(Menulusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad ke-17). Semarang:
Jeda.
Suryanegara, A. M. (2015). Api Sejarah Jidil kesatu.
Bandung: Surya Dinasti.
Sutiyono. (1998). Tumpengan dan Gunung : Makna Simboliknya
Dalam Kebudayaan Mayrakat Jawa. Cakrawala Pendidikan, 1, 62.
Toynbee, A. J. (2015). Sejarah jejak peradaban manusia
dari 500 SM-abad XX (A Study Of History). (Rizal, Ed., & I. M. Zaki,
Trans.) Bandung: Nusa Media.
Turner, B. S. (2012). Teori Sosial dari klasik samapi
postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yatim, B. (2017). Sejarah Peradaban Islam (Dirasah
Islamiyah II). Jakarta: Rajawali Pers.